Kamis, 30 Desember 2010

Surrender;Penyerahan Diri



"Penyerahan diri total bukanlah berarti mempersembahkan badan-mu kepada Tuhan. Pasrah total yang sebenarnya adalah menchantingkan Nama Tuhan dan menjadikannya sebagai dasar hidupmu. Karena alasan yang sama inilah Guru Nanak, guru pertama Sikh, memulai ajarannya untuk mengajak masyarakat menyanyikan nama Tuhan secara bersama-sama. Beliau mengatakan kepada pengikutnya bahwa mereka harus mencari pemenuhan dalam hidup dengan cara menchantingkan Nama Tuhan. Rasakanlah bahwa menchantingkan Nama Tuhan sebagai praktek spiritual yang paling penting. Engkau dapat menghabiskan sejumlah uang untuk beramal dan dalam melakukan tindakan pelayanan, tetapi praktik ini hanya akan memberikan kepuasan mental yang sifatnya sementara, jika tindakan itu tidak dilengkapi dengan menchantingkan Nama Tuhan."(Baba)

(Surrender does not mean offering your body to God. Real surrender is the chanting of the Divine Name and making it the basis of your life. It is for the same reason that Guru Nanak, the first Guru of the Sikhs, started community singing. He told his followers that they should seek fulfillment in life by chanting the Divine Name. Consider the chanting of the Name of God as the most important spiritual practice. You may spend any amount of money in charity and in doing acts of service, but these practices will give you only temporary mental satisfaction at the most if they are not complemented with the chanting of the Divine Name)

---Bhagavan -Divine Discourse, 24-05-2008, dikutif dari: Sai Inspires November 11, 2010)

.
lebih lanjut silahkan baca di:


Rabu, 29 Desember 2010

Aham, Brahma,Asmi


"Penganut pandangan non dualisme (adwaitha) percaya pada pernyataan, "Aku adalah Yang Mutlak" (aham Brahmasmi). Bagaimana ia dapat memperoleh keyakinan ini? Bila hal ini kau tanyakan padanya, ia akan menjawab, "Kitab suci Weda mengatakan demikian," atau "Guru spiritual mengajarkan demikian." Tetapi, sekedar mempelajari hal ini dari sumber-sumber tersebut tidak membuat orang berhak membuat pernyataan yang sangat mendalam itu. Bila seseorang sekedar mengucapkan aham, Brahma, dan asmi, dapatkah kesadarannya manunggal dengan Tuhan? Tidak. Dengan usaha keras yang tiada putusnya selama kelahiran-kelahiran yang sudah tidak terhitung lagi, dengan melakukan latihan rohani yang ditetapkan oleh kitab-kitab suci secara tekun, maka manusia dapat memurnikan hatinya. Dalam hati yang murni itu tumbuhlah benih kebhaktian. Bila dipelihara dengan penuh pengertian dan perhatian, bunganya pun mekar. Buahnya timbul dan menjadi ranum hingga penuh dengan sari yang manis dan harum. Bila buah itu dimakan, manusia menjadi satu dengan Yang Maha Tinggi. Kesadarannya manunggal dengan kekuatan yang memenuhi segala sesuatu, seluruh kawasan, yaitu kekuatan dan kekuasaan yang selama-lamanya ada, sadar, dan penuh kebahagiaan;"

(Baba, dalam "Prema Vahini")
..selengkapnya silahkan klik:http://www.ssg-kupang.hostoi.com/PremaVahini/Wacana14.html

Jumat, 24 Desember 2010

Maha Samadhi Dalam Filosofi Siwaratri

pada 25 Desember 2010 jam 10:42
Kisah Lubdaka
           Dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, diceritakan seorang pemburu bernama Lubdaka. Pada suatu hari tepatnya pada hari panglong 14 kapitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ke tujuh), pagi-pagi seperti biasa ia meninggalkan rumahnya untuk berburu ke hutan. Setelah tiba di hutan, ia mulai menyiapkan busur dan anak panahnya menantikan sasaran buruannya, tetapi tidak seekor binatangpun yang muncul; hal ini sebelumnya tidak pernah terjadi. Jam berganti jam, hingga mendekati malam ia masih berputar-putar, namun tidak satupun binatang buruan yang dapat ditemuinya. Malam semakin larut lebih-lebih kelebatan hutan semakin menambah kegelapan suasana. Keadaan hutan semakin gelap sehingga ia mulai merasakan takut kalau berjalan di tengah kegelapan seperi itu, dan akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di atas pohon. Takut akan tertidur, lalu jatuh dan menjadi mangsa binatang hutan, ia tetap berjaga-jaga semalaman itu. Agar tidak tidur, ia pun memetik daun-daun pohon maja/bila dan menjatuhkannya ke air danau. Daun-daun itu jatuh di atas sebuah lingga Siwa (nora ginawe), dan dengan  tidak diketahui daun-daun maja itu jatuh ditempat itu. Ketika matahari mulai muncul di ufuk timur yang menandai malam telah berganti pagi, turunlah ia dari pohon dan kembali pulang dengan tangan hampa.
          Hari demi hari berlalu, kehidupan berlangsung seperti biasanya, tetapi beberapa tahun kemudian Lubdaka jatuh sakit, dan tak lama kemudian ia pun meninggal. Jenasahnya segera dibuatkan upacara sebagai mana layaknya (ngaben), sedangkan atmanya (rohnya) melayang-layang diangkasa tidak mengetahui jalan yang mesti ditempuh. Siwa mengetahui keadaannya itu dan mengetahui pula bahwa jiwa si pemburu (Lubdaka) itu ditakdirkan untuk dibawa kewilayah Yama – penguasa kerajaan maut.
          Yama memerintahkan kepada abdinya untuk menangkap jiwa Lubdaka untuk dihadapkan kepadanya dan sekaligus akan disiksa atas semua kejahatan yang ia lakukan selama di dunia. Para Kingkara tidak mengenal belas kasihan, mereka menyiksa jiwa Lubdaka. Kemudian Siwa memanggil abdinya – Gana dan sekaligus memerintahkan untuk menghadapkan jiwa Lubdaka kepadanya. Sedangkan abdi lainnya seperti Kingkara menentang keputusan Siwa, dan terheran-heran mengapa orang yang seumur hidupnya seperti Lubdaka – pembunuh makhluk-makhluk hidup dilimpahi anugerah oleh Siwa.
          Tiba-tiba para Gana muncul dan menuntut agar Lubdaka dibebaskan. Terjadilah pertempuran sengit antara Kingkara dengan para Gana dan pertempuran itu dimenangkan oleh Gana – abdi Siwa. Kemudian jiwa Lubdaka dibawa dengan kereta surgawi dan menghadapkannya kepada Siwa dan Dewa lainnya. Para Dewa menyembutnya dengan ramah, memuji karena telah menghormati malam Siwa (dengan melek/tidak tidur semalam suntuk); dan sekaligus ia mendapatkan anugrah tertinggi kenikmatan surgawi.
Ketika Yama melihat anak buahnya – Kingkara dalam keadaan menyedihkan dan mendengar bagaimana mereka gagal dalam melaksanakan tugasnya, maka rasa marah Yama meluap. Siwa dianggap menghalangi Yama dalam melaksanakan  tugas yang telah dipercayakan kepadanya sehingga Yama ingin mengundurkan diri.
          Yama kemudian pergi ke gunung Kailasa menghadap Dewa Siwa sebagai Sang Mahadewa guna menyampaikan pengunduran dirinya. Siwa selanjutnya memperlihatkan, bahwa ia dapat mengerti perasaan Yama dan menjelaskan kebijakannya yang dianggap mengherankan itu. Pada zaman purba Ia pernah mengajarkan bagaimana malam Siwa harus dihormati; upacara itu demikian suci sehingga dapat membersihkan segala noda dan dosa. Tetapi tidak seorangpun lagi pernah melakukan upacara itu, termasuk Dewa sendiri juga melupakannya. Lubdakalah yang pertama-tama melakukannya kendatipun tanpa disadarinya, dan sewajarnya kini ia mendapat pahalanya. Akhirnya Yama dan para Dewa lainnya menjadi mengerti setelah mendapatkan penjelasan Siwa, dan sekaligus memohon maaf  kepadanya, setelah itu Yama dan para Dewa pulang.

Makna Filosofis Hari Raya Siwaratri
          Kalau disimak cerita itu, ada seorang pemburu namanya Lubdaka yang sehari-hari kerjanya memburu binatang. Kata Lubdaka dalam bahasa sansekerta berarti pemburu. Yang diburu adalah binatang. Nama lain dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal dari kata sat yang berarti ’inti yang mulia’ atau ’hakikat’. Kata twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti ”bersifat inti atau hakikat”. Dengan demikian yang bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari ’inti hakikat yang mulia’.
          Secara harfiah Siwaratri berarti malam Siwa. Saat ini umat Hindu (tidak semuanya), di hari ke 14 sebelum bulan mati (catur dasi kresna paksa), bukan pada tilem kepitu, mengadakan kebaktian memuja dan memuji kebesaran Tuhan/Siwa. Ada dengan cara membaca kitab-kitab suci di Pura-Pura, rumah-rumah dan tempat-tempat tertentu, individual (menyendiri) atau kerkelompok, ada yang menggelar Akanda bhajan bersama di Mandir-Mandir, dengan cara menyanyikan lagu-lagu pujian secara bergantian sampai pagi (akhanda bhajan). Arti lain juga diberikan orang kepada Siwaratri sebagai malam penebusan dosa dengan cara melek semalam suntuk.
          Dalam mantram Satyam Siwam Sundaran, Siwa digambarkan sebagai Kebenaran, Keheningan dan Keindahan. Siwa juga dipersonifikasikan sebagai yang tidak pernah berkata ’tidak’ bagi setiap pemohon yang bersungguh-sungguh, seperti dalam cerita Bhasmasutra. Dalam konsep Trisakti Siwa disebut ’yang melenyapkan’.
Ratri artinya malam. Ini berkaitan dengan pandangan mata. Dalam bahasa rohani artinya ’gelap ketidaktahuan’ (awidya). Tilem kepitu (peteng pitu) adalah tujuh kegelapan yang bisa menyebabkan orang mabuk/lupa daratan, karena ketampanan/kemolekan, karena harta benda, merasa mampu, merasa keturunan tinggi; karena mabuk tidak memanfaatkan masa muda untuk kegiatan-kegiatan produktif, terlibat pada minuman keras dan mabuk kemenangan.
Ketujuh mentalitas ekstrem tersebut timbul dari kecenderngan sifat egois yang tidak terkendalikan, rajas dan tamas ditambah ahamkara, sifat pembawaan sejak lahir yang harus dan perlu dimiliki tiap orang untuk mendorong timbulnya aktivitas. Kalau tidak demikian manusia akan pasif dan tidak berguna. Tetapi jika itu tidak di rem, diredam terus menerus sejak dini sampai ke tingkat kewajaran, secara internal akan merusak diri sendiri, dan secara eksternal akan merusak prinsip hidup bersama (bermasyarakat).
          Jika ketujuh kegelapan (mentalitas ekstrem) itu berkumpul menjadi satu dengan rajas, tamas dan ahamkara di dalam diri seseorang, akan menjadi ragadhi (rajanya ego). Istilah ini diberikan oleh Rsi Walmiki (Ramayana),  yang maknanya musuh terdekat manusia yang bermukim di hati. Di dalam ragadhi, berakumulasi banyak sekali nafsu buruk yang memproduksi berbagai perilaku buruk. Semua ini bermula dari ratri yang memanifestasikan dirinya dalam ’gelap ketidaktahuan’ itu, membuat orang menjadi dungu, bodoh (awidya), lupa terhadap kemanusiawian milik sejatinya, yang membedakan dirinya dengan hewan bodoh. Tentu saja karena itu lupa terhadap Tuhan. Maka itu Tanakung, pujangga sastra religius yang bijak itu berseru : Siwalah Ratri itu! Artinya lenyapkanlah gelap ketidaktahuan itu sampai tuntas. Mpu Tanakung juga tidak kepalang tanggung menyamakan ratri sebagai binatang-binatang sangat berbahaya di dalam hutan, yang harus dibunuh semuanya. Inilah sebagian dari makna Siwaratri.

Aktor Imajener
        Skenario dari drama misteri spiritual ini memiliki banyak makna. Namun di dalam yang banyak itu, arti ’malam penebusan dosa’ sudah umum dikatakan orang. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah Siwaratri merupakan malam penebusan dosa? Jawaban atas pertanyaan ini harus berpijak pada keyakinan dasar Hindu, yaitu hukum Karma. Kesalahan yang dilakukan oleh perbuatan nyata harus ditebus dengan perbuatan nyata. Penebusan ’dosa’ dengan tindakan ritual, seperti begadang semalam suntuk, puasa untuk waktu tertentu atau mengucapkan kalimat-kalimat pengakuan tertentu, dipandang dari substansi hukum karma, hanya berfungsi sebagai catharsis (bahasa yunani = penyucian atau pembebasan emosi melalui seni, terutama yang bersifat tragedi). Ritual seperti ini bilamana diartikan secara harfiah bisa menjadi obat penenang yang sangat berbahaya : orang boleh melakukan apa saja demi kepentingan pribadi (misalnya menyalah gunakan kekuasaan), karena dengan melakukan ritual dengan saleh dan taat, pada waktu-waktu tertentu, dosa atau kesalahan itu sudah hapus. Keyakinan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan bagi usaha pembentukan ethos kerja, karena membuat manusia meremehkan tanggung jawab. Ritual-ritual seperti itu pada dasarnya hanyalah satu sarana-sarana yang penting untuk pembentukan pribadi melalui olah rohani. Dan ia akan bermanfaat bilamana ini kemudian terefleksi dalam perbuatan nyata.
          Kalau kita memperlakukan Siwaratri semacam biografi atau otobiografi dari Lubdaka, artinya sebagai apa yang terbaca seperti terkesan selama ini. Orang tidak akan memperoleh menfaat apapun dari karya agung yang dikemas beragam simbolisme nan bermakna tinggi ini. Menguak simbul-simbul ini maka sedikitpun tidak ragu bahwa Lubdaka (Sansekerta) yang berarti ’pemburu’ adalah aktor imajener yang diejawantah pengarang sebagai seorang pemburu bernama Lubdaka yang kejam, membunuh semua binatang yang dalam kata Sansekerta disebut sattwa. Dalam konteks Siwaratri, ini harus diartikan sifat-sifat ’kebinatangan’. Ketika sifat-sifat ini dibinasakan oleh Lubdaka dalam dirinya, dia pun dalam dirinya mendapat sattwa, aspek utama triguna yang mengatasi Rajas (sifat egoistis) dan Tamas (sifat dungu). Pada waktu yang sama, kecenderungan-kecenderungan jahat dan gagasan-gagasan buruk dalam pikiran Lubdaka tidak berkutik di depan sattwa (sifat luhur), dan ahamkara mental serakah pun hilang. Hati nuraninya pun berfungsi. Jadilah Lubdaka manusia yang senantiasa mendengar suara keheningan dalam pikiran.
          Inilah yang dicapai Lubdaka selama dalam pesiarahan spiritualnya yang panjang dan bersungguh-sungguh. Pada tahap ini, bagi Lubdaka sudah tidak berlaku lagi cap bahwa manusia adalah binatang yang berfikir karena dia sudah menjadi manusia utuh. Dengan demikian dia telah meningkat dari manusia (manava) menuju ke tingkat manusia yang memancarkan perilaku kedewataan, yang arif bijaksana, lemah lembut, ramah dan manis tutur katanya (madhava).

Perang Tanding
          Lubdaka adalah pangecualian yang sangat langka. Dia tidak puas bertahan di tingkat manusia saja. Dia ingin menanjak lebih tinggi lagi. Dengan alasan ini, perang tanding dengan bangsa binatang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, yang telah berjalan berbulan-bulan dan bahkan mungkin bertahun-tahun, diteruskannya lagi. Dengan senjata pemungkas yang andal prema tatwa, prinsip kasih sejati yang mantap pupuslah ragadhi, musuh paling berbahaya dalam dirinya. Anak manusia yang lugu ini menang mutlak. Kali ini dia mendapat jnana yang mengantarkannya kepada prajna, yaitu kesadaran diri sejati atau disebut juga kesadaran atma.
          Kesadaran atma diperoleh melalui pengendalian batin teramat dahsyat, terus menerus dan lama. Bukan batin yang dikendalikan, namun batin yang mengendalikan gagasan-gagasan atau maksud-maksud jahat, dalam benak manusia. Gagasan-gagasan macam ini bermula dari indria yang memantulkan indahnya kemewahan duniawi, yang diterima pikiran lalu menyampaikan kepada ahamkara/ego. Kemudian ahamkara memerintahkan kepada sang tangan untuk berbuat, sering dengan cara tidak peduli.
          Kini misteri spiritual bagi Lubdaka sudah terbuka, karena dia berhasil melenyapkan gelap ketidaktahuan, penyebab kebodohan atau awidya; daya yang menyelubungi atau awarana sakti dari maya (Wedanta).

Maha Samadi
          Suatu hari di tengah malam gelap gulita, Lubdaka disebutkan ’naik’ ke puncak pohon bila, dan memetik-metik daun pohon bila, tidak tidur sekejappun. Orang yang tidak tidur berarti sadar, disebut tan aturu, tan mereme, atangi atau atutur. Secara spiritual orang yang dikatakan turu dan lupa menurut ajaran Siwa adalah orang yang dibelenggu dan yang hanya menuruti nafsu (raga) atau indriyanya. Lubdaka telah dapat mengendalikan dirinya atau aturu menjadi atangi yaitu menemukan kesadaran akan Sang Diri dengan melek semalam suntuk, sehingga akhirnya dia mendapatkan anugrah dari Dewa Siwa.
          Jelas pohon ini adalah bikinan yang dipajang Tanakung sebagai dekorasi di atas panggung pentas drama ini. Tetapi bukan tidak bermakna. Lubdaka tidak naik ke puncak pohon manapun. Dia berada di kamar yang suci di depan sebuah tempat pemujaan (altar), atau di suatu tempat tertentu yang dia pilih, dalam sikap meditasi sempurna (maha samadhi). Yang naik bukan Lubdaka, tetapi kesadaran spiritualnya.
            Daun bila 108 dapat dijabarkan sebagai berikut : 1(satu) menyatakan tunggal (esa), 8 simbul maya (alam semesta) yang relatif. Ketika semua daun (108) ini dipetik satu demi satu dan dijatuhkan tanpa sengaja oleh Lubdaka, tepat mengenai serta berkumpul di punggung Siwa. Artinya, dalam sadana rohani yang tengah memuncak  seperti ini, Lubdaka tidak memiliki motivasi apa pun, dia ada dalam situasi niskama karma, pasrah total  (saranagati). Kemudian yang terjadi adalah 108 menjadi 9 menyatakan Brahman/Siwa, simbul sangat suci dalam kesadaran mitologi Hindu. Pada tingkat ini semesta alam pun lenyap karena dia hanyalah ciptaan maya. Yang tinggal hanya yang Esa, yang satu dan yang satu dapat menjadi yang terbanyak; totalitas yang tak terbatas (anatman).
          Kesadaran tingkat transendental inilah yang diburu sang pemburu – Lubdaka, dan dia berhasil ’naik’ ke puncak kesadaran tertinggi (Paramarthika). Dengan demikian yang bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakikat yang mulia. Saat inilah dia dikatakan ’melek semalam suntuk’. Pada awalnya Lubdaka identik dengan binatang yang berfikir. Lalu meningkat menjadi manusia manusiawi yang intim dengan hati nuraninya setelah mendapatkan sattwa (sifat luhur). Kemudian dia mengenal sang Aku (jiwa) penghuni bandannya, yang tak berbeda dengan Brahman, seperti dijelaskan Sri Wyasa sebagai jiwo Brahmaiwa na aparah (Wedanta) susudah Lubdaka memperoleh jnana (pengetahuan sejati).
          Kalau dilihat dari sudut tattwa Darsana agama Hindu, khususnya ajaran Samkya dan Yoga, dijelaskan bahwa hidup atau terjadinya kehidupan adalah karena adanya pertemuan antara Purusa dengan Pradana/Prakerti. Purusa adalah jiwa kesadaran yang merupakan sumber dharma, sedangkan Pradana/prakerti adalah unsur kebendaan yang diliputi oleh kegelapan. Akibat dari pertemuan Purusa dengan Pradana/prakerti adalah terjadinya pertarungan dharma dengan adharma dalam diri manusia. Pengejawantahan dari pertemuan Purusa dengan Pradana/Prakerti menyebabkan dalam manusia ada dua kecendrungan, yaitu kecenderngan menuju Sang Pencipta disebut Suri Sampad, dan kecendrungan untuk keraksasaan disebut Asuri Sampad. Tujuan daripada hidup ini adalah memperoleh kesempatan berkarma yang baik untuk menebus karma yang tidak baik di masa kehidupan dahulu.

Siwaratri Sebagai Hari Raya
          Siwaratri adalah hari raya yang disucikan oleh umat Hindu karena mempunyai nilai spiritual yang sangat tinggi. Siwaratri berasal dari dua suku kata yaitu : Siwa dan ratri. Dalam hal kata ini, kata Siwa adalah gelar kehormatan bagi manifestasi Ida Hyang Widhi yang disebut Siwa, mempunyai fungsi sebagai pe”mrelina”/pelebur, segala yang patut dilebur untuk mencapai kesucian diri yang dapat mengantarkan ke alam bahagia. Ratri, artinya malam, malam yang berarti gelap/kegelapan. Dengan demikian, Siwaratri berarti malam untuk melebur segala papa/dosa setiap umat yang sujud bakti memuja-Nya.
         Maha Siwaratri adalah malam pemujaan Siwa sebagai sumber dari segala yang ada. Dilaksanakan sebagai suatu disiplin dan perayaan. Sebagai sebuah disiplin kita berjaga sepanjang malam – melaksanakan japa, meditasi  dan sembahyang. Sepanjang malam kita memujaNya, mempersembahkan hati dan jiwa kita kepadaNya. Dengan demikian Siwaratri dimaksudkan memberikan motivasi pada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dengan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu beriktiar untuk memperbanyak perbuatan dharma.
          Pada hari ini kita melakukan puasa dan yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan dari Hyang Widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidya (kegelapan).
Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwarâtri terdiri dari:
1.   Utama, melaksanakan:
      1.  Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
      2.  Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
      3.  Jagra (berjaga, tidak tidur).
2.   Madhya, melaksanakan:                                                                 
      1. Upawasa.
      2.  Jagra.
3.   Nista, hanya melaksanakan Jagra.
          Bertitik tolak dari sini, Siwaratri hendaknya dipahami sebagai malam pemupukan tekad dan permohonan kepada Tuhan agar kita diberikan kemampuan yang baik dalam menghapus dosa-dosa atau penderitaan masyarakat seperti kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

Selasa, 21 Desember 2010

Tubuh adalah “Stana” Tuhan

oleh Ketut Darmita pada 21 Desember 2010 jam 23:18
Tubuh mengalami berbagai perubahan karena makanan dan kebiasaan hidup lainnya.
Apapun perubahan yang terjadi pada tubuh, individualitasnya tidak berubah.
Perubahan nama dan bentuk, seperti misalnya anak-anak, remaja, dewasa dan tua berkaitan dengan tubuh dan karenanya hanya khayal.
Oleh sebab itu, janganlah menganggap tubuh sebagai hal yang nyata dan tetap.
Meskipun demikian manusia wajib mengusahakan agar tubuhnya tidak terserang penyakit dan terpelihara sebagai alat yang sehat.
Selama berlayar dalam lautan kehidupan ini, manusia harus menjaga agar perahu tubuhnya tidak berlobang atau bocor, dengan demikian air tidak masuk kedalam perahu.
Perahu boleh berada di air, tetapi tidak boleh ada air dalam perahu.
Perahu merupakan alat untuk menyeberangi lautan kehidupan.

Di dalam kitab suci Veda dinyatakan bahwa tubuh manusia adalah Pura atau Bangunan Suci, sedang jiwa (Sang Diri) adalah Tuhan Yang Maha Esa yang berstana pada tubuh manusia.

Dalam  Kitab Maitreyi Upanisad II.1,
sebagaimana dikutip oleh Titib ( 2006 : 11) disebutkan sebagai berikut :

”Badan adalah pura, altar,
 tempat suci yang diresapi dan jiwa (atma) adalah Sang Hyang Siva,
Tuhan Yang Maha Esa”.  

Baba mengatakan, ingatlah selalu hal ini,
“Aku bukan sekedar manusia,
Aku adalah perwujudan Tuhan,
Miliki keyakinan yang teguh akan hal ini,
maka engkau akan menyadari kebenaran tersebut”

Sebagaimana dikatakan,
 Brahmavid Brahmaiva Bhavati,
artinya :
“Yang mengetahui Brahman (Tuhan) sesungguhnya menjadi Brahman”

Kesadaran bahwa manusia adalah Atman yang merupakan perwujudan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa yang menjelma dengan memasuki badan sebagai stana suci-Nya (pura)-Nya, maka seseorang akan senantiasa melaksanakan Asucilaksana, yakni menyucikan diri lahir dan batin senantiasa berpegang teguh kepada nilai-nilai moralitas. Dengan demikian akan mengantarkan manusia (manava) menuju ke tingkat manusia yang memancarkan perilaku kedewataan, yang arif bijaksana, lemah lembut, ramah dan manis tutur katanya (madhava). Tidak sebaliknya jatuh dibelenggu oleh sifat-sifat keraksasaan (danava).

Kesempatan menjelma sebagai manusia sangat sulit diperoleh, ini memerlukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali reinkarnasi, sehingga kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan dengan baik dengan merealisasikan ajaran dharma (dharmasadhana) seperti yang disebutkan dalam Sarasamuccaya sloka 4 dan 14, sebagai berikut :

”Apang iking dadi wwang,
uttama juga ya, 
nimittaning mangkana, 
wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, 
makasadhanang cubhakarma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika”  (Sarasamuccaya, 4).

Terjemahan :
Mejelma menjadi manusia itu adalah sungguh utama; karena dapat menolong dirinya dari keadaan  samsara (menjelma berulang kali), dengan jalan berbuat baik, demikian keuntungan menjelma sebagai manusia (Kajeng, 2001 : 6).
 
“Ikang dharma ngaranya,
hanuning mara ring swarga ika,
kadi gatening perahu,
an henuning banyage nentasing tasik”
(Sarasamuccaya, 14).
Terjemahan :
Yang disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang mengarungi lautan (Kajeng, 2001 : 11).

Senin, 20 Desember 2010

"Manavaseva-Madhavaseva"


"Ada pepatah yang mengatakan, "Pelayanan bagi manusia adalah pelayan bagi Tuhan." (Manavaseva adalah Madhavaseva). Pernyataan ini benar. Mengabdi umat manusia adalah usaha yang suci, tetapi bila hal itu tidak dilebur dalam suatu ideal yang lebih luhur, manusia tidak akan memperoleh manfaat betapa pun besarnya pelayanan tersebut. Sekedar mengulang-ulang pepatah tersebut tidak akan ada gunanya. Bila engkau menolong orang lain tanpa memiliki keyakinan akan ke-Ilahi-an manusia, tidak seorang pun akan memperoleh faedah. Juga tidak ada yang akan mendapat kebaikan bila engkau melakukan pelayanan agar menjadi terkenal, atau dengan pamrih. Apa pun juga kegiatan yang kau lakukan, bila teman yang selalu menyertaimu adalah perenungan kepada Tuhan, dan bila engkau yakin akan hakikat ke-Ilahian manusia, maka engkau dapat mengatakan bahwa pelayanan pada manusia adalah pelayanan bagi Tuhan. Bila engkau tidak pernah berpikir tentang Tuhan, bagaimana mungkin hal yang kau lakukan menjadi pengabdian bagi Tuhan? Semua pembicaraan semacam itu hanyalah ingin pamer saja."

(Baba, dalam "Prema Vahini")

...lebih lanjut silahkan baca di:-

http://www.ssg-kupang.hostoi.com/PremaVahini/Wacana34.html

Sanathana Vidya


"Ada satu rahasia yang pengungkapannya akan membuka semua rahasia; bila masalah itu kau pecahkan, semua masalah akan kau temukan jawabnya; ada satu simpul yang penguraiannya akan membuka semua simpul. Ada satu ilmu yang jika dikuasai, akan membuat engkau menguasai semua ilmu. Pengetahuan yang penting itu adalah pengetahuan abadi (sanathana vidya) dari kitab-kitab suci yang kuno."

(Baba, dalam "Prema Vahini")
..lebih lanjut silahkan baca di:

http://www.ssg-kupang.hostoi.com/PremaVahini/Wacana13.html

Swartha, Parartha, Paramartha


"Bila engkau melakukan suatu perbuatan sebagai persembahan kepada Tuhan,
hal ini tidak hanya baik bagimu (swartha),
tetapi orang lain yang terpengaruh oleh perbuatan itu pun akan mendapat faedah (parartha).
 Sesungguhnya kebaikan dan faedah tersebut lebur dengan kebaikan tertinggi (paramartha),
semuanya menjadi satu.
Mula-mula "aku" dan "engkau" menjadi "kita".
Kemudian "kita" dan "Ia" menjadi satu.
Mula-mula jiwa (jiwa individu atau "aku") harus mencapai persamaan dengan alam semesta (yaitu prakrithi" atau "engkau") dan kemudian dengan Tuhan Yang Mahatinggi ("Ia").
Sesungguhnya inilah makna mantra "Om Tat Sat" (semua ini adalah Yang Mutlak)."

(Baba, dalam "Prema Vahini")

...lebih lanjut silahkan klik:
http://www.ssg-kupang.hostoi.com/PremaVahini/Wacana05.html

karma, bhakti, dan jnana


" Tidak ada perbedaan antara bhakti kepada Tuhan dengan pengetahuan tentang Tuhan (jnana).
Dari pengabdian kepada Tuhan yang mengenakan wujud, berkembanglah pengabdian pada Tuhan yang mutlak dan tidak berwujud.
Demikian pula dari bhakti kepada Tuhan, berkembanglah pengetahuan tentang Tuhan.
Aku tidak setuju pada anggapan yang mengatakan bahwa karma, bhakti, dan jnana itu terpisah."

(Baba, dalam "Prema Vahini")

lihat lebih lanjut di :
http://www.ssg-kupang.hostoi.com/PremaVahini/Wacana05.html

Mutiara

"Mutiara" dari Bhagawan:
"agama membentuk tiga-per-empat karakter"

"Atma menjaga kelangsungan hidup manusia berdasarkan kesehatan yang dimiliki badan jasmani dan rohani."

"Dalam perjalanan spiritual, hanya terdapat satu jalan mulia, yaitu jalan CINTA-KASIH."

"Hati yang murni merupakan pencapaian tertinggi dari seluruh upaya keras yang dilakukan oleh manusia."

"Lupakanlah perbuatan negatif yang telah diperbuat oleh orang lain terhadapmu, dan sebaliknya, lupakanlah perbuatan positif yang telah engkau perbuat terhadap orang lain."

"Tanpa adanya hati yang murni, maka tidak akan mungkin terdapat batin dan intellect (buddhi) yang murni."
"Pikiranmu mempunyai andil yang sangat penting dalam membentuk kehidupanmu."

"Kehidupan tanpa pengetahuan tentang diri sejati (Atma) adalah tak berguna sama sekali, persis seperti pohon tanpa akar, pohon tanpa buah dan buah yang tidak mempunyai sari manisnya."

"Jikalau satu orang siswa jelek perilakunya, maka hanya siswa itu saja yang terpengaruh... Tetapi jikalau satu orang guru berperilaku tak pantas, maka ratusan siswanya akan ikut ternodai."

"Membuang kualitas-kualitas diri yang jahat merupakan praktek spiritual yang sejati. Itulah yang disebut sebagai pengorban dan yoga yang sebenarnya."

"Tuhan ada di dalam dirimu. Tuhan ada di dalam setiap ucapan, perbuatan dan pikiranmu. Oleh sebab itu, berbicaralah, berperilaku dan berpikir secara pantas untuk-Nya."

"Sekali engkau memiliki Anugraha (rahmat Ilahi), maka Navagrahas (sembilan planet) tidak akan bisa mencelakaimu."

"Satu-satunya jalan untuk melayani Tuhan adalah dengan cara melayani sesama manusia."
"Hubungan antara bhakta dan Tuhan adalah dari hati ke hati dan dari cinta-kasih ke cinta-kasih."
"Suatu lapisan masyarakat hendaknya dileburkan menjadi satu melalui kesadaran bersama dalam ketuhanan."
"Tujuan dari aktivitas-aktivitas spiritual adalah untuk mencapai unifikasi dengan Tuhan."
"Persekutuan yang tanpa direncanakan oleh sekelompok manusia tidak secara otomatis akan menjadi suatu kumpulan masyarakat."

.....om sai ram, lebih lanjut silahkan klik :

Kamis, 16 Desember 2010

Dhanam,Daiwam,Dayyam

Bhagavan Sathya Sai Bersabda:

" Bila Waasudewa ‘Krishna’ memasuki hati manusia, 
wasudewa ‘dewa kekayaan’ tidak mempunyai tempat lagi di dalamnya.
Dengan kata lain, bila dewa wasu atau ‘kekayaan’ bertakhta dalam hati, 
Waasudewa ‘Sri Krishna’ (Tuhan) tidak dapat tinggal di dalamnya. "

" Usaha apapun untuk menempatkan keduanya di dalam hati pasti akan gagal.

Gelap dan terang tidak dapat berada pada waktu yang sama di tempat yang sama,
mereka tidak dapat berjalan seiring. 
Dhanam ‘harta’ dan Daiwam ‘Tuhan’ tidak dapat dijadikan idaman gabungan.
Bila manusia mencari dhanam ‘kekayaan’, ia tidak akan dapat mencapai Daiwam ‘Tuhan’.
Jika manusia mencari keduanya, yang akan didapat bukanlah dhanam ataupun Daiwam melainkan dayyam ‘hantu’. "

(Pancaran Bhagavata, bab 1, si;ahkan baca di: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=241&Itemid=29 )


Selasa, 14 Desember 2010

-- R.A. KARTINI: “Vegetarian adalah Doa Tanpa Kata ke Hadirat Yang Maha Tinggi”...

Oleh : Selebritis Vegetarian

 -- R.A. KARTINI: “Vegetarian adalah Doa Tanpa Kata ke Hadirat Yang Maha Tinggi”...


Dikutip dari Surat Kartini kepada Ny.R.M. Abendanon-Mandri dan suaminya 
(Brieven aan mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en haar echtngenoot met andere documenten)

Dokumen 75: 27 Oktober 1902:

“Sekarang kami masih harus menceritakan sesuatu mengenai diri kami, kami tidak tahu pendapat Nyonya, kami sekarang pantang makan daging. Sudah lama kami merencanakan itu dan bahkan beberapa tahun saya hanya makan tanaman saja tetapi tidak punya cukup keberanian susila untuk bertahan. Saya masih muda sekali, masih berusia 14, 15 tahun. Dengan pantangan itu dikatakan saya mempunyai berbagai tujuan, dan sebagai anak saya masih terlalu muda untuk membela kata hati, membiarkan diri dibuat bingung menyerah, tetapi merencanakan memulai lagi, segera sesudah saya berkuasa atas diri sendiri. Kemudian kami putuskan melaksanakan rencana kami kalau kami sudah tidak di sini lagi. Tetapi ini terlalu lama dan kami sudah melaksanakannya sekarang. Kami sehat dan secara batiniah itu baik bagi kami.

Seperti yang sudah kami katakan kepada Nyonya, diperlukan keberanian susila, yang lebih lanjut daripada keberanian pribadi untuk melaksanakan dan mempertahankannya.

“Vegetarisme itu doa tanpa kata kepada Yang Mahatinggi” Ya betul kata orang itu doa tanpa kata, doa dalam perbuatan, doa untuk mohon tenaga dan kekuatan

Kami mohon izin kepada Ibunda pantang makan daging, dan Ibunda mengizinkan dengan senang hati, dengan ikhlas. Annie akan sangat marah, kalau dia mendengar tentang pantangan itu, dia selalu marah kalau kami membicarakan rencana kami untuk pantang makan daging. “Kamu mau mati?” tanyanya. Seolah-olah orang yang makan daging tidak mati.

Bagi saya, Kartini adalah sosok wanita-manusia. Wanita yang rindu mengantar semua hati melihat wanita sebagai manusia. Peka terhadap kesenjangan apa pun. Alur berpikir yang provokatif, mengajak kita untuk tidak menelan mentah-mentah segala sesuatu melainkan uji dengan hati dan otak. Dia tak lelah membawa hati untuk bertanya.

Adalah Kartini yang menggugat arti beradab ketika kejujuran tak lagi bertahta, dalam surat yang sama 27 Oktober 1902

“Tuhanku, apakah sebenarnya peradaban itu? Apakah…apakah peradaban itu merupakan kelihaian berbuat…pura-pura?

Menggugat niat tulus dari setiap bentuk ambiguitas,” kami sendiri mengetahui sungguh-sungguh jumlah orang yang dengan tulus ikhlas hendak menolong kami, dapat kami hitung dengan jari. Dan kami tidak sampai menggunakan dua belah tangan untuk menghitung jari itu.
Nyonya kira kami tidak tahu, apa yang menyebabkan ‘de Echo’ suka sekali memuat karangan kami…Sebab karangan itu merupakan iklan yang bagus bagi surat kabar tersebut. Majalah ‘De Hollandse Lelie’ menyediakan ruangannya bagi saya..untuk apa? untuk iklan! Surat-surat seorang gadis dari Timur, seorang gadis Jawa sejati”

Kartini keras menyoroti niat ‘kedua’ dari topeng seolah-olah tulus dari sebuah ambiguitas. Niat harus lurus dan tulus tanpa embel-embel.

Kartini juga tak segan mendobrak budaya tanpa isi. Dalam dokumen 118: 25 Agustus 1903 “Sudah saya katakan, saya tidak suka kaki saya dicium. Tidak pernah saya izinkan orang berbuat demikian pada saya. Yang saya kehendaki kasih sayang dalam hati sanubari mereka, bukan tata cara lahiriah!

Sahabat, bagi saya Kartini adalah suluh yang menerangi cermin pemantul jati diri setiap hati, agar setiap hati memandang jelas hakikat manusia dalam diri seorang wanita, hakikat hidup yang setara.

Salam Kebaya;)

http://nasional.kompas.com/read/2010/04/21/08471776/Siapa.Menyangka.RA.Kartini.Vegetarian-5
http://onlyoneearth.wordpress.com/2009/04/21/ra-kartini-vegetarian-adalah-doa-tanpa-kata-ke-hadirat-yang-mahatinggi
http://goodchoise.wordpress.com/2009/08/19/tokoh-indonesia
http://cunilcumil.wordpress.com/2009/11/24/r-a-kartini


♥ PYTHAGORAS ♥ Filsuf Melegenda, Matematikawan, dan Musisi yang hidup di abad ke-6 SM.

 oleh: Selebritis Vegetarian

Pythagoras sungguh merupakan salah satu guru terbesar yang pernah memberkati planet ini. Sebenarnya dia yang merumuskan kata “filsuf” yang artinya “pecinta kebijaksanaan.” Dia menghabiskan 23, 24 tahun pertama untuk berkeliling dunia ...secara terus menerus, menemui berbagai budaya, agama, kepercayaan, sekte, ilmuwan, ulama, cendekiawan, para santa, orang kudus, dan dia menyatukan dengan sangat baik segala hal yang didapatnya.

Nama Pythagoras terus bergema sampai hari ini. Walaupun tak satupun tulisannya yang masih eksis, ajaran dan pemikirannya dikenal luas melalui karya-karya Plato, Philolaus, Ovid, dan penulis-penulis lainnya. Dia dikenang sebagai salah satu manusia paling berbakat sepanjang masa, penemu Teori Emas dan Segi empat, perumus keselarasan dan keharmonisan Pythagoras, kontributor bagi astronomi dan kedokteran. Tapi selama masa hidupnya, dia paling dikenal sebagai rohaniwan dan rasul vegetarian.

Kemudian, ia mendirikan sekolah rohani yang mengajar 6.000 murid dan pengikut, dimana semuanya menjalani pola makan tanpa daging. Kenyataannya, selama sekitar 2.400 tahun dari era Pythagoras sampai sekitar tahun 1800-an, saat kata “vegetarian” belum ditemukan, kaum vegetarian dikenal sebagai kaum Pythagoras; pola makan nabati disebut sebagai pola makan Pythagoras.

Tujuan dan ajaran utamanya, apakah itu ilmu pengetahuan, astronomi, hukum, memelihara keluarga, apapun subjeknya, semua itu bertujuan untuk mengarahkan kita kepada sifat mulia alami kita dan tentunya menjaga tubuh fisik kita sangatlah erat kaitannya dengan itu. Dia merasa bahwa semakin bersih dan jernih penampilan fisik kita, tubuh kita, kemuliaan yang lebih jernih dapat mengalir di dalamnya. Jadi ia merasa bahwa produk-produk hewani harus dijauhi.

Pythagoras berpendapat bahwa cara hidup vegetarian adalah keharusan bagi keadilan dan kedamaian semesta. Filsuf Neoplatonis Siria Iamblichus menuliskan: “Di antara berbagai alasan, Pythagoras memerintahkan untuk menjauhi daging hewan, karena hal itu mendukung perdamaian; bagi mereka yang terbiasa untuk menghindari pembantaian hewan-hewan, menganggap hal itu sebagai kekejaman dan tidak berperasaan, akan berpikir bahwa lebih tidak adil dan tidak bermoral lagi jika membunuh manusia atau berperang.”

http://www.suprememastertv.com/ina/bbs/board.php?bo_table=onl_ina&wr_id=54&goto_url&subt_cont&eps_no=1116&url=link2_0&show=vege&flag=1#v


Socrates

oleh: Selebritis Vegetarian

Pemikiran dan ajaran-ajaran Socrates dilestarikan dan dibawa ke luar berkat murid-muridnya yang terkenal seperti Plato.

Sebagai filsuf yang merefleksikan etika, Socrates menunjukkan kebiasaan mengonsumsi daging sebagai hal yang merusak dalam 

“Socrates Method atau ironi Socrates” yang terkenal.

Beberapa contoh tulisan “Republic” karya Plato:

“Socrates berkata: Tidakkah kebiasaan makan hewan ini membuat kita membantai hewan-hewan yang kita kenal sebagai individu, dan yang dalam matanya terpantul dan terlihat bayangan diri kita sendiri, hanya beberapa jam sebelum kita makan?

“Tidakkah ini [pengetahuan dari peran kita dalam menjadikan suatu makhluk menjadi suatu benda] menghalangi kita dalam mencapai kebahagiaan? Dan, jika kita teruskan cara hidup seperti ini, tidakkah kita akan lebih sering pergi ke tabib?"

Jika kita teruskan kebiasaan makan hewan, dan jika tetangga kita mengikuti jejak yang sama, tidakkah kita akan harus berperang melawan tetangga kita untuk mengamankan padang rumput yang lebih besar, karena milik kita tak akan cukup bagi kita, dan tetangga kita akan memiliki kebutuhan yang sama untuk mengobarkan perang pada kita untuk alasan yang sama?


Minggu, 12 Desember 2010

Penyerahan Diri Kepada Tuhan

Penyerahan Diri Kepada Tuhan.

  pada 11 Desember 2010 jam 22:09
Krisna bersabda : Siapa yang menyerahkan diri  sepenuhnya kepadaKu dan berlindung kepadaKu,  maka dia akan Aku lindungi dan akan Aku bimbing menuju kesadaran Tuhan.
Apakah maksud menyerahkan diri dan berlindung disini?
Apakah dengan menyerahkan diri secara nyata begitu?
Tentu tidak, menyerahkan diri berarti melaksanakan ajaranNya dan menjauhi larangan-laranganNya.

Demi kepentingan manusia, Krisna mengajarkan cara yang mudah untuk berbakti  kepada Tuhan.
Bhakti ini ada 2 jenis, yaitu bakti yang biasa  dan bakti yang lebih tinggi tingkatannya disebut dengan para bakti.

Bakti yang biasa merupakan berbagai kegiatan persembahyangan dan upacara yang dilakukan oleh penganut, bersiarah ketempat-tempat suci, mandi disungai-sungai yang dianggap suci dll. Bhakti yang biasa ini mempergunakan sarana bunga, buah, daun dan air sebagai pemujaan kepada Tuhan, dari manakan asal benda-benda tersebut?
Semua itu merupakan ciptaan Tuhan. Bukan milik kita sesungguhnya.
Jadi dimana segi pengorbanan  jika kita mempersembahkan kepada Tuhan benda-benda yang diciptakan oleh Tuhan sendiri ?

Tetapi Bhakti yang mendalam atau Parabakti ini merupakan usaha-usaha untuk mengembangkan sifat-sifat yang sempurna dan selalu diliputi oleh kasih kepada Tuhan.
Bakti jenis ini mempergunakan benda-benda yang betul-betul menjadi milik kita,
  misalnya kita mempersembahkan bunga hati kita yang bersih kepada Tuhan,
buah karma kita yang baik kepada Tuhan,
Air mata penyesalan terhadap  pikiran perkataan perbuatan kita yang tidak baik dll.

Bhakti yang mendalam ini  dikelompokkan menjadi 3 tahap :
(1) Matkarmakrit, “bekerjalah demi Aku”.
(2) Matparamo, ”Semata-mata demi Aku”.
(3) Matbaktaha, “Berbaktilah hanya kepadaKu”.

Ada seorang Rsi yang bersumpah akan melaksanakan ahimsa dan berkata  jujur apapun yang terjadi.
Tatkala Rsi  ini melakukan tapa, ada seorang pemburu yang sedang berburu rusa.
Rusa yang diburu itu lari didepan sang Rsi dan bersembunyi.
Sang pemburu datang dan bertanya kepada  Rsi tsb,
“Apakah anda melihat rusa lari disini, dimana dia bersembunyi?”
Sang Rsi berada dalam suatu konplik batin yang sangat hebat, kalau ia mengatakan melihat, berarti ia telah menyebabkan matinya rusa itu, berarti melanggar sumpahnya tentang ahimsa.
Kalau ia berkata tidak, berarti ia sudah berkata bohong.
Setelah berfikir sejenak, akhirnya ia menemukan jalan yang terbaik untuk mengatasi dilema ini.
Ia menjawab dengan kata-kata yang membingungkan.
Jawabnya :
“Mata yang melihat tidak dapat mengatakan, sedangkan mulut yang berbicara tidak dapat melihat, Aku tidak dapat merubah yang melihat harus mengatakan, dan yang berbicara harus melihat, itu adalah kebenaran”.

Dengan jawaban ini maka Rsi tersebut terhindar dari masalah yang menimpanya.
Bhagawan Sri Satya Sai Baba manganjurkan kepada kita jangan berbohong.
Beliau mengatakan ”Jika engkau tidak dapat mengatakan yang sebenarnya lebih baik engkau diam dan tidak berbicara dari pada mengatakan yang tidak benar”.

Tuhan yang Maha  Besar atau Mahima bisa mengambil wujud yang terkecil dari pada yang paling kecil atau anima. Dikatakan jauh Beliau sangat jauh sekali, dikatakan dekat beliau dekat sekali yaitu didalam hati para bakta.

Ada sebuah cerita, Suatu ketika  Narada menghadap Tuhan dan Tuhan bertanya kepada Narada,
“Narada sepanjang penjelajahanmu didunia kemanapun engkau memandang engkau melihat 5 unsur yang hebat yaitu : Apah, teja, bayu, akasa, pertiwi.
Dari sepanjang penjelajahanmu manakah yang  terpenting dan terbesar dari kelima unsur itu?”
Narada menjawab :
“Tentu tanah yang paling besar”.
Tuhan melanjutkan lagi,
“Mana mungkin tanah yang paling besar kalau tiga perempat permukaan tanah ditelan oleh air, hanya seperempatnya saja yang menjadi daratan?”
Manakah yang kau anggap lebih besar, yang menelan atau yang ditelan?”
Akhirnya Narada mengatakan :
“air yang lebih besar.”
Tuhan  melanjutkan lagi,
”ketika para raksasa bersembunyi didasar samudra, Rsi Agastya meneguk air samudra hanya dengan sekali tegukan air samudra menjadi kering, sekarang katakan mana yang lebih besar air samudra atau Agastya?
Narada menjawab :
“Rsi Agastya yang lebih besar”.
Tuhan melanjutkan lagi, ketika  Rsi Agastya meninggalkan badan raga beliau hanya menjadi penghuni salah satu bintang kecil dikutub.
Rsi seagung Agastya sekarang hanya menjadi penghuni salah satu bintang diangkasa yang sangat luas.  Sekarang katakan mana yang lebih besar  Rsi Agastya atau Angkasa?
Narada menjawab :
“yang lebih besar adalah Angkasa.
Tuhan melanjutkan lagi, dalam sejarah ada diceritakan bahwa ketika Tuhan turun kedunia menjadi orang cebol, Wamana awatara, Beliau hanya menginjakkan satu kaki-Nya maka dunia sudah terinjak.
Sekarang katakan mana yang lebih besar Kaki Tuhan atau Akasa?
Narada menjawab :
Kaki Tuhan yang lebih besar.
Akhirnya Narada tiba pada satu kesimpulan bahwa kalau kakiNya saja sudah demikian besarnya, apalagi wujudnya.
Tapi Tuhan masih mempunyai satu pertanyaan lagi.
Tuhan yang maha besar  bisa mengambil wujud yang sangat kecil dari yang terkecil dan merelakan dirinya dikurung didalam hati para bakta yang betul-betul menyerahkan diri kepadaNya .
Sekarang katakan, mana yang kau anggap lebih besar yang mengurung atau yang dikurung?
Akhirnya Narada mengatakan  Bakta harus dianggap lebih besar dari pada Tuhan.

Memang sebenarnya manusia memiliki kekuatan yang sangat besar.
Dia mampu mengurung Tuhan didalam hatinya, tetapi karena awidya dia merasa kecil.
Dia mengatakan :  
Aham dehasmi, Aku adalah Badan.
Tetapi dengan mempelajari pengetahuan tentang Tuhan (Brahma Vidya) kita maju dari tahap Aham dehasmi  menjadi Aham Jiwasmi, Aku adalah Jiwa.
Dan selanjutnya melangkah lagi dari Aham Jiwasmi  menjadi Aham Brahma Asmi, Aku adalah Tuhan.
Yang diperlukan adalah keyakinan penuh bahwa apa yang disabdakan Tuhan tidak pernah bohong, Adakalanya manusia tidak sabar, dengan mengatakan :
Saya sudah bayak berbuat baik mengapa saya masih menderita, dll pernyataan-pernyataan serupa itu.

Dalam disiplin Spiritual ada 4 golongan pengabdi : Tipe
1. Arthi,
2. Arthaarti,
3. Jignasu dan
4. Jnani.

Tipe Arthi adalah kelompok orang-orang yang berdoa kepada Tuhan apabila dia sedang mengalami berbagai masalah dan cobaan.  
Arthaarti adalah kelompok orang yang memuja Tuhan dan memohon agar ia diberi kekayaan, jabatan, rumah mewah harta benda dll semacam itu.
Jignasu adalah kelompok orang  yang tidak henti-hentinya menekuni asas kerohnian.
Ia selalu mencari jawaban atas pertanyaan : Siapakah Tuhan? Bagaimana aku dapat mencapai Tuhan? Siapakan Aku? Kelompok pengabdi ini tekun mempelajari buku-buku tentang Tuhan.
Setelah tahap Jignasu ini dilewati,  pengabdi masuk ketahap Jnani yaitu orang yang mengetahui kebenaran, orang yang mempunyai Jnana atau pengetahuan.
Apakah pengetahuan duniawi yang dimaksudkan?
Tidak. Jnana adalah pengetahuan spiritual yang sejati, pengetahuan adikodrati.
Jnana adalah Pengetahuan tentang Tuhan.
Brahmavid Brahmaiva Bhawati artinya siapa yang mengetahui Tuhan maka dia akan menjadi Tuhan.



Jumat, 10 Desember 2010

Memilih Makanan Yang Satvika

oleh Ketut Darmita 

pada 09 Desember 2010 jam 17:15

Makanan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sifat, sikap, dan karakter seseorang. Oleh karena itu kitab suci Veda sangat menekankan pentingnya memilih makanan. Dalam Chandogya Upanisad VII-xxvi-2 (dalam Donder, 2008 :301) disebutkan sebagai berikut :

”Aharasuddhau sattvasuddhih
Sattvasuddhih dhruva smrittih
Smritihlabhe sarvagranthinam vipramokshah”
Terjemahan :
’Ketika makanan yang dimakan murni, maka seluruh sifat menjadi murni, ketika sifat menjadi murni maka ingatan akan menjadi kokoh (tajam) dan jika seseorang telah memiliki ingatan yang kokoh (tajam), maka semua ikatan akan terputuskan’

Makanan memiliki hubungan langsung yang sangat erat dengan pikiran dan memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk pikiran. Sesungguhnya hanya pikiranlah yang menyebabkan segala hal. Manomulam idam jagat, demikian dikatakan oleh kitab suci. Artinya seluruh alam semesta ini tidak lain adalah proyeksi pikiran. Oleh karena itu makanan harus murni,  dengan mengatur makanan serta menjaga agar makanan tidak tercemar dengan memperhatikan hal-hal sbb :
  1. Kemurnian atau kebersihan peralatan masak (patra suddhi).
  2. Kemurnian bahan makanan yang digunakan untuk memasak (padaartha suddhi).
  3. Kemurnian proses memasak (paaka suddhi).
Kemurnian yang dimaksud  diatas adalah periuk belanga yang dipakai memasak itu harus benar-benar bersih, kemurnian tidak berarti kebersihan fisik saja, tetapi juga cara perolehan peralatan dan bahan-bahan makanan itu. Apakah alat-alat dan bahan-bahan makanan itu diperoleh dengan cara halal, dan dengan bekerja jujur, ataukah perolehan barang itu memalui cara yang tidak terpuji. Barang yang diperoleh dengan cara yang tidak halal dan digunakan untuk memasak tidak hanya akan melahirkan pikiran-pikiran yang buruk, tetapi akan menggiring ke jalan yang salah.
Langkah berikutnya adalah memperhatikan kemurnian proses memasak itu sendiri, yaitu apakah pikiran dan perasaan yang memasak itu baik atau buruk. Karena fibrasi orang yang memasak itu akan mempengaruhi sifat makanan yang dimasak itu. Alangkah baiknya kalau sambil memasak melakukan japan dalam hati, atau menyebut secara berulang-ulang nama-nama suci Tuhan karena ini sangat besar pengaruhnya untuk menjadikan makanan itu murni.
Jaman sekarang sangat sulit atau bahkan tidak mungkinlah memastikan kemurnian semacam itu dalam segala hal dan sepanjang waktu. Untuk mengatasi hal tersebut, jalan keluar yang dianjurkan kitab suci adalah dengan berdoa atau mempersembahkan  makanan tersebut kepada Tuhan  sebelum memakannya, sehingga makanan itu sebagai anugrah (prasadam)  dari Tuhan. Doa makan  dapat memakai sloka Bhagawadgita bab 4 ayat 24, dan bab 15 ayat 14, ( dalam Jendra, 1991 : 185 )   sebagai berikut :

”Om Brahmaarpanam, Brahma Havir,
Brahmaagnau Brahmaana Hutam,
Brahmaiva Tena Gantavyam,
Barhma Karma Samaadhina”.

”Aham Vaishvaanaro Bhutwaa,
Praaninaan Dehamaashritahaa,
Praanaapaanam Samaa Yuktaha,
Pachaamy Anam Chatur Vidham”.

Terjemahan :

Upacara persembahan adalah Brahma,
Persembahan itu sendiri adalah Brahman,
Dipersembahkan oleh Brahman dalam api suci
yang juga Brahman,
Hanya dialah mencapai Brahman yang dalam seluruh
kegiatannya khusyuk sepenuhnya dalam Brahman.

Aku adalah Vaishwaanaro, kemampuan yang memenuhi
alam semesta yang berada dalam badan segala
makhluk hidup.
Menyatu dengan nafas yang masuk dan keluar,
Aku menerima segala macam/empat jenis makanan.

Karena kwalitas makanan mempengaruhi kualitas pikiran, menyantap makanan tanpa terlebih dahulu mempersembahkannya kepada Tuhan, akan terkena pengaruh buruk dari segala kotoran dan cacat atas kekurangan yang ada pada makanan tersebut. Sebaliknya jika sebelum makan, mempersembahkan terlebih dahulu makanan tersebut kepada Tuhan maka makanan tersebut menjadi prasadam (anugrah Tuhan) dan akibatnya segala ketidakmurnian dalam makanan akan dihilangkan. Ini menolong pembersihan pikiran secara berangsur-angsur dari ketidakmurnian atau kotoran yang disebut mala. Dalam Bhagawadgita bab III sloka 13 (Pendit, 2002 : 68) disebutkan berikut :

Yajna sishtasinah santo
muchyante sarva kalbishaih
bhunjate te ty agham papa
ye pachanty atma karanat”
Terjemahan :
yang baik makan setelah upacara bakti
akan terlepas dari segala dosa
(tetapi) menyediakan makanan lezat hanya bagi sendiri,
mereka ini sesungguhnya makan dosa.

Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam kitab Manawa Dharmasastra bab III sloka 118 (Pudja, 1983 : 84) disebutkan sebagai berikut :

”Agham sa kevalam bhunkte
Yah pacatyat makaranat
Yajnasistasanam hyeta tat
Satamannam vidhiyae”.
Terjemahan :
Ia yang hanya menyiapkan makanan hanya untuk sendiri saja, sesungguhnya tidak lain kecuali makan dosa, karena dinyatakan bahwa makanan yang masih ada setelah yadnya itu akan menjadi santapan orang suci.

Dalam kedua sloka tersebut secara jelas dinyatakan bahwa, orang yang menyantap makanan sisa dari yadnya, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan serta dengan menyantap makanan yang telah dipersembahkan atau selesai upacara, kita memakan makanan orang-orang bijaksana, sehingga pikiran kita ikut menjadi bijaksana.



Senin, 06 Desember 2010

"GOURI, YOU owe ME sixteen rupees in MY SHIRIDI INCARNATION..."


_______________________________...__________________________
" SHIRIDI SAI BABA told; Smt. SHARADA DEVI alias Pedda Bottu (Gouri) Born on 8. 8. 1888; AT 10AM to SMT. Mantthrapragada Ramalaksmi Devi and Sri
Venkata Narasimha Rao residents of HYDERABAD WHO AFTER MARRIAGE MOVED WITH
HER HUSBAND AND SETTLED DOWN IN SHIRIDI; told her " I will tell you
something, but BEFORE that you should hold my feet and promise me not to
tell this to anyone." She did as she was told by SHIRIDI SAI . Baba then
said, " GOURI, I WILL APPEAR IN ANDHRA WITH THE SAME NAME OF SAI BABA but
in another Avaatar (divine manifestation).

Then again you will come to me. I will keep you with me and will give you
joy." HER JOY WAS UNLIMITED, SHE ASKED ," ' SHOULD I NOT REVEAL THIS FACT
TO ANY-BODY?" BABA confirmed, "NO, you alone will see my second Avaatar,
none else will.

After you have seen me in my second form, you may tell this to others when
occasion arises." This conversation took place in 1917 between the two of
them. She added, that her ailing aunt wanted to see her in RAJAHMUNDRY .
It was there when she was in RAJAHMUNDRY in 1918 that she learnt that SRI
SHIRIDI SAI BABA hd left His physical body. She said, " Iwas filled with a
kind of inexplicable anguish." Her aunt too passed away on the Ekadashi
day with the LORD'S NAME ON HER LIPS, SHE HAD HAD A DREAM IN WITH baba
HIMSELF APPEARED AND CALLED HER TO him. She later spent some years in the
HOLY HILLS in the santitiy of SRI CHANDRA YOGI JI MAHARAJ; WHO TOLD HER, "YOU
have learnt everything that is to know. Now listen to me carefully. You
have to do many more good deeds. The GOD you think you have lost is about
to COME into this world soon, for upliftment of the entire HUMANITY. You
will not see him in the old form with which you are familiar. He will
appear in a NEW CAPTIVATING FORM. He will be the most powerful AVATAR and
will do many extraordinary things. Hence return to your place, learn about
this lovable GOD and receive your SALVATION."

SO WITH A HEAVY HEART SHE RETURNED TO HYDERABAD; and started a HOME for
the poor and destitute children. and also wrote a lot of "HARI KATHAS" AND
suplimented her income by this and singing them.

One day she was invited to sing a HARI KATHA in a village called
URAVAKONDA. In the house where this event was arranged, she happened to
see on the wall a photograph of a beautiful lad. He had a crown of hair.
The face and eyes were most charming and magnetic; so she asked the
housewife whose photo it was. the lady of the house told her, " DON'T YOU
KNOW?" HE IS PUTTAPARTHI SAI BABA" If you want to see HIM, I can take you
to HIM to-morrow." The next day they went to the house of one Mr. SHESHAMA
RAJU ; the elder brother of now SRI SATHYA SAI BABA. She looked at the
young 14 year old BABA. iT WAS IN 1940; SHE WAS THEN 52 YEARS OLD.

THE FIRST WORDS THAT BHAGAWAN SRI SATHYA SAI BABA uttered were, "GOURI,
YOU owe ME sixteen rupees in MY SHIRIDI INCARNATION." She replied that she
had already paid up all her debts to SRI SHIRIDI SAI BABA. And SRI SATHYA
SAI BABA said, " I KNOW. I SAID IT BECAUSE YOU ARE NOT ABLE TO RECOGNISE
ME. OTHERWISE YOU WOULD HAVE FALLEN ON MY FEET. ALL RIGHT. AFTER
COMPLETING ALL YOUR TASKS AT THE POOR HOME you are running,..GO OVER TO
PUTTAPARTHI, I SHALL RETAIN YOU WITH ME AND SHALL BESTOW ALL THE JOY YOU
WANT." IN 1958, WHEN SHE WAS 70 YEARS OLD, SHE CLOSED DOWN THE POOR HOME
AND WENT OVER TO SPEND THE REST OF HER LIFE IN puttaparthi AT THE DIVINE
LOTUS FEET, WHERE baba GAVE HER A HOUSE (Apt# S.A-23) to stay in the ASHRAM AND
BHAGAWAN NAMED HER PEDDA BOTTU, after materialising Vibhuti with the
familiar rotation of the HAND and asking her to smear it on her forehead
in the form of a big Bottu..."
Sathya Sai Baba Photos