oleh Ketut Darmita
pada 09 Desember 2010 jam 17:15
Makanan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sifat, sikap, dan karakter seseorang. Oleh karena itu kitab suci Veda sangat menekankan pentingnya memilih makanan. Dalam Chandogya Upanisad VII-xxvi-2 (dalam Donder, 2008 :301) disebutkan sebagai berikut :
”Aharasuddhau sattvasuddhih
Sattvasuddhih dhruva smrittih
Smritihlabhe sarvagranthinam vipramokshah”
Terjemahan :
’Ketika makanan yang dimakan murni, maka seluruh sifat menjadi murni, ketika sifat menjadi murni maka ingatan akan menjadi kokoh (tajam) dan jika seseorang telah memiliki ingatan yang kokoh (tajam), maka semua ikatan akan terputuskan’
Makanan memiliki hubungan langsung yang sangat erat dengan pikiran dan memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk pikiran. Sesungguhnya hanya pikiranlah yang menyebabkan segala hal. Manomulam idam jagat, demikian dikatakan oleh kitab suci. Artinya seluruh alam semesta ini tidak lain adalah proyeksi pikiran. Oleh karena itu makanan harus murni, dengan mengatur makanan serta menjaga agar makanan tidak tercemar dengan memperhatikan hal-hal sbb :
Langkah berikutnya adalah memperhatikan kemurnian proses memasak itu sendiri, yaitu apakah pikiran dan perasaan yang memasak itu baik atau buruk. Karena fibrasi orang yang memasak itu akan mempengaruhi sifat makanan yang dimasak itu. Alangkah baiknya kalau sambil memasak melakukan japan dalam hati, atau menyebut secara berulang-ulang nama-nama suci Tuhan karena ini sangat besar pengaruhnya untuk menjadikan makanan itu murni.
Jaman sekarang sangat sulit atau bahkan tidak mungkinlah memastikan kemurnian semacam itu dalam segala hal dan sepanjang waktu. Untuk mengatasi hal tersebut, jalan keluar yang dianjurkan kitab suci adalah dengan berdoa atau mempersembahkan makanan tersebut kepada Tuhan sebelum memakannya, sehingga makanan itu sebagai anugrah (prasadam) dari Tuhan. Doa makan dapat memakai sloka Bhagawadgita bab 4 ayat 24, dan bab 15 ayat 14, ( dalam Jendra, 1991 : 185 ) sebagai berikut :
”Om Brahmaarpanam, Brahma Havir,
Brahmaagnau Brahmaana Hutam,
Brahmaiva Tena Gantavyam,
Barhma Karma Samaadhina”.
”Aham Vaishvaanaro Bhutwaa,
Praaninaan Dehamaashritahaa,
Praanaapaanam Samaa Yuktaha,
Pachaamy Anam Chatur Vidham”.
Terjemahan :
Upacara persembahan adalah Brahma,
Persembahan itu sendiri adalah Brahman,
Dipersembahkan oleh Brahman dalam api suci
yang juga Brahman,
Hanya dialah mencapai Brahman yang dalam seluruh
kegiatannya khusyuk sepenuhnya dalam Brahman.
Aku adalah Vaishwaanaro, kemampuan yang memenuhi
alam semesta yang berada dalam badan segala
makhluk hidup.
Menyatu dengan nafas yang masuk dan keluar,
Aku menerima segala macam/empat jenis makanan.
Karena kwalitas makanan mempengaruhi kualitas pikiran, menyantap makanan tanpa terlebih dahulu mempersembahkannya kepada Tuhan, akan terkena pengaruh buruk dari segala kotoran dan cacat atas kekurangan yang ada pada makanan tersebut. Sebaliknya jika sebelum makan, mempersembahkan terlebih dahulu makanan tersebut kepada Tuhan maka makanan tersebut menjadi prasadam (anugrah Tuhan) dan akibatnya segala ketidakmurnian dalam makanan akan dihilangkan. Ini menolong pembersihan pikiran secara berangsur-angsur dari ketidakmurnian atau kotoran yang disebut mala. Dalam Bhagawadgita bab III sloka 13 (Pendit, 2002 : 68) disebutkan berikut :
”Yajna sishtasinah santo
muchyante sarva kalbishaih
bhunjate te ty agham papa
ye pachanty atma karanat”
Terjemahan :
yang baik makan setelah upacara bakti
akan terlepas dari segala dosa
(tetapi) menyediakan makanan lezat hanya bagi sendiri,
mereka ini sesungguhnya makan dosa.
Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam kitab Manawa Dharmasastra bab III sloka 118 (Pudja, 1983 : 84) disebutkan sebagai berikut :
”Agham sa kevalam bhunkte
Yah pacatyat makaranat
Yajnasistasanam hyeta tat
Satamannam vidhiyae”.
Terjemahan :
Ia yang hanya menyiapkan makanan hanya untuk sendiri saja, sesungguhnya tidak lain kecuali makan dosa, karena dinyatakan bahwa makanan yang masih ada setelah yadnya itu akan menjadi santapan orang suci.
Dalam kedua sloka tersebut secara jelas dinyatakan bahwa, orang yang menyantap makanan sisa dari yadnya, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan serta dengan menyantap makanan yang telah dipersembahkan atau selesai upacara, kita memakan makanan orang-orang bijaksana, sehingga pikiran kita ikut menjadi bijaksana.
”Aharasuddhau sattvasuddhih
Sattvasuddhih dhruva smrittih
Smritihlabhe sarvagranthinam vipramokshah”
Terjemahan :
’Ketika makanan yang dimakan murni, maka seluruh sifat menjadi murni, ketika sifat menjadi murni maka ingatan akan menjadi kokoh (tajam) dan jika seseorang telah memiliki ingatan yang kokoh (tajam), maka semua ikatan akan terputuskan’
Makanan memiliki hubungan langsung yang sangat erat dengan pikiran dan memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk pikiran. Sesungguhnya hanya pikiranlah yang menyebabkan segala hal. Manomulam idam jagat, demikian dikatakan oleh kitab suci. Artinya seluruh alam semesta ini tidak lain adalah proyeksi pikiran. Oleh karena itu makanan harus murni, dengan mengatur makanan serta menjaga agar makanan tidak tercemar dengan memperhatikan hal-hal sbb :
- Kemurnian atau kebersihan peralatan masak (patra suddhi).
- Kemurnian bahan makanan yang digunakan untuk memasak (padaartha suddhi).
- Kemurnian proses memasak (paaka suddhi).
Langkah berikutnya adalah memperhatikan kemurnian proses memasak itu sendiri, yaitu apakah pikiran dan perasaan yang memasak itu baik atau buruk. Karena fibrasi orang yang memasak itu akan mempengaruhi sifat makanan yang dimasak itu. Alangkah baiknya kalau sambil memasak melakukan japan dalam hati, atau menyebut secara berulang-ulang nama-nama suci Tuhan karena ini sangat besar pengaruhnya untuk menjadikan makanan itu murni.
Jaman sekarang sangat sulit atau bahkan tidak mungkinlah memastikan kemurnian semacam itu dalam segala hal dan sepanjang waktu. Untuk mengatasi hal tersebut, jalan keluar yang dianjurkan kitab suci adalah dengan berdoa atau mempersembahkan makanan tersebut kepada Tuhan sebelum memakannya, sehingga makanan itu sebagai anugrah (prasadam) dari Tuhan. Doa makan dapat memakai sloka Bhagawadgita bab 4 ayat 24, dan bab 15 ayat 14, ( dalam Jendra, 1991 : 185 ) sebagai berikut :
”Om Brahmaarpanam, Brahma Havir,
Brahmaagnau Brahmaana Hutam,
Brahmaiva Tena Gantavyam,
Barhma Karma Samaadhina”.
”Aham Vaishvaanaro Bhutwaa,
Praaninaan Dehamaashritahaa,
Praanaapaanam Samaa Yuktaha,
Pachaamy Anam Chatur Vidham”.
Terjemahan :
Upacara persembahan adalah Brahma,
Persembahan itu sendiri adalah Brahman,
Dipersembahkan oleh Brahman dalam api suci
yang juga Brahman,
Hanya dialah mencapai Brahman yang dalam seluruh
kegiatannya khusyuk sepenuhnya dalam Brahman.
Aku adalah Vaishwaanaro, kemampuan yang memenuhi
alam semesta yang berada dalam badan segala
makhluk hidup.
Menyatu dengan nafas yang masuk dan keluar,
Aku menerima segala macam/empat jenis makanan.
Karena kwalitas makanan mempengaruhi kualitas pikiran, menyantap makanan tanpa terlebih dahulu mempersembahkannya kepada Tuhan, akan terkena pengaruh buruk dari segala kotoran dan cacat atas kekurangan yang ada pada makanan tersebut. Sebaliknya jika sebelum makan, mempersembahkan terlebih dahulu makanan tersebut kepada Tuhan maka makanan tersebut menjadi prasadam (anugrah Tuhan) dan akibatnya segala ketidakmurnian dalam makanan akan dihilangkan. Ini menolong pembersihan pikiran secara berangsur-angsur dari ketidakmurnian atau kotoran yang disebut mala. Dalam Bhagawadgita bab III sloka 13 (Pendit, 2002 : 68) disebutkan berikut :
”Yajna sishtasinah santo
muchyante sarva kalbishaih
bhunjate te ty agham papa
ye pachanty atma karanat”
Terjemahan :
yang baik makan setelah upacara bakti
akan terlepas dari segala dosa
(tetapi) menyediakan makanan lezat hanya bagi sendiri,
mereka ini sesungguhnya makan dosa.
Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam kitab Manawa Dharmasastra bab III sloka 118 (Pudja, 1983 : 84) disebutkan sebagai berikut :
”Agham sa kevalam bhunkte
Yah pacatyat makaranat
Yajnasistasanam hyeta tat
Satamannam vidhiyae”.
Terjemahan :
Ia yang hanya menyiapkan makanan hanya untuk sendiri saja, sesungguhnya tidak lain kecuali makan dosa, karena dinyatakan bahwa makanan yang masih ada setelah yadnya itu akan menjadi santapan orang suci.
Dalam kedua sloka tersebut secara jelas dinyatakan bahwa, orang yang menyantap makanan sisa dari yadnya, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan serta dengan menyantap makanan yang telah dipersembahkan atau selesai upacara, kita memakan makanan orang-orang bijaksana, sehingga pikiran kita ikut menjadi bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar