oleh Ketut Darmita
pada 25 Desember 2010 jam 10:42
Kisah Lubdaka
Dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, diceritakan seorang pemburu bernama Lubdaka. Pada suatu hari tepatnya pada hari panglong 14 kapitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ke tujuh), pagi-pagi seperti biasa ia meninggalkan rumahnya untuk berburu ke hutan. Setelah tiba di hutan, ia mulai menyiapkan busur dan anak panahnya menantikan sasaran buruannya, tetapi tidak seekor binatangpun yang muncul; hal ini sebelumnya tidak pernah terjadi. Jam berganti jam, hingga mendekati malam ia masih berputar-putar, namun tidak satupun binatang buruan yang dapat ditemuinya. Malam semakin larut lebih-lebih kelebatan hutan semakin menambah kegelapan suasana. Keadaan hutan semakin gelap sehingga ia mulai merasakan takut kalau berjalan di tengah kegelapan seperi itu, dan akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di atas pohon. Takut akan tertidur, lalu jatuh dan menjadi mangsa binatang hutan, ia tetap berjaga-jaga semalaman itu. Agar tidak tidur, ia pun memetik daun-daun pohon maja/bila dan menjatuhkannya ke air danau. Daun-daun itu jatuh di atas sebuah lingga Siwa (nora ginawe), dan dengan tidak diketahui daun-daun maja itu jatuh ditempat itu. Ketika matahari mulai muncul di ufuk timur yang menandai malam telah berganti pagi, turunlah ia dari pohon dan kembali pulang dengan tangan hampa.
Hari demi hari berlalu, kehidupan berlangsung seperti biasanya, tetapi beberapa tahun kemudian Lubdaka jatuh sakit, dan tak lama kemudian ia pun meninggal. Jenasahnya segera dibuatkan upacara sebagai mana layaknya (ngaben), sedangkan atmanya (rohnya) melayang-layang diangkasa tidak mengetahui jalan yang mesti ditempuh. Siwa mengetahui keadaannya itu dan mengetahui pula bahwa jiwa si pemburu (Lubdaka) itu ditakdirkan untuk dibawa kewilayah Yama – penguasa kerajaan maut.
Yama memerintahkan kepada abdinya untuk menangkap jiwa Lubdaka untuk dihadapkan kepadanya dan sekaligus akan disiksa atas semua kejahatan yang ia lakukan selama di dunia. Para Kingkara tidak mengenal belas kasihan, mereka menyiksa jiwa Lubdaka. Kemudian Siwa memanggil abdinya – Gana dan sekaligus memerintahkan untuk menghadapkan jiwa Lubdaka kepadanya. Sedangkan abdi lainnya seperti Kingkara menentang keputusan Siwa, dan terheran-heran mengapa orang yang seumur hidupnya seperti Lubdaka – pembunuh makhluk-makhluk hidup dilimpahi anugerah oleh Siwa.
Tiba-tiba para Gana muncul dan menuntut agar Lubdaka dibebaskan. Terjadilah pertempuran sengit antara Kingkara dengan para Gana dan pertempuran itu dimenangkan oleh Gana – abdi Siwa. Kemudian jiwa Lubdaka dibawa dengan kereta surgawi dan menghadapkannya kepada Siwa dan Dewa lainnya. Para Dewa menyembutnya dengan ramah, memuji karena telah menghormati malam Siwa (dengan melek/tidak tidur semalam suntuk); dan sekaligus ia mendapatkan anugrah tertinggi kenikmatan surgawi.
Ketika Yama melihat anak buahnya – Kingkara dalam keadaan menyedihkan dan mendengar bagaimana mereka gagal dalam melaksanakan tugasnya, maka rasa marah Yama meluap. Siwa dianggap menghalangi Yama dalam melaksanakan tugas yang telah dipercayakan kepadanya sehingga Yama ingin mengundurkan diri.
Yama kemudian pergi ke gunung Kailasa menghadap Dewa Siwa sebagai Sang Mahadewa guna menyampaikan pengunduran dirinya. Siwa selanjutnya memperlihatkan, bahwa ia dapat mengerti perasaan Yama dan menjelaskan kebijakannya yang dianggap mengherankan itu. Pada zaman purba Ia pernah mengajarkan bagaimana malam Siwa harus dihormati; upacara itu demikian suci sehingga dapat membersihkan segala noda dan dosa. Tetapi tidak seorangpun lagi pernah melakukan upacara itu, termasuk Dewa sendiri juga melupakannya. Lubdakalah yang pertama-tama melakukannya kendatipun tanpa disadarinya, dan sewajarnya kini ia mendapat pahalanya. Akhirnya Yama dan para Dewa lainnya menjadi mengerti setelah mendapatkan penjelasan Siwa, dan sekaligus memohon maaf kepadanya, setelah itu Yama dan para Dewa pulang.
Makna Filosofis Hari Raya Siwaratri
Kalau disimak cerita itu, ada seorang pemburu namanya Lubdaka yang sehari-hari kerjanya memburu binatang. Kata Lubdaka dalam bahasa sansekerta berarti pemburu. Yang diburu adalah binatang. Nama lain dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal dari kata sat yang berarti ’inti yang mulia’ atau ’hakikat’. Kata twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti ”bersifat inti atau hakikat”. Dengan demikian yang bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari ’inti hakikat yang mulia’.
Secara harfiah Siwaratri berarti malam Siwa. Saat ini umat Hindu (tidak semuanya), di hari ke 14 sebelum bulan mati (catur dasi kresna paksa), bukan pada tilem kepitu, mengadakan kebaktian memuja dan memuji kebesaran Tuhan/Siwa. Ada dengan cara membaca kitab-kitab suci di Pura-Pura, rumah-rumah dan tempat-tempat tertentu, individual (menyendiri) atau kerkelompok, ada yang menggelar Akanda bhajan bersama di Mandir-Mandir, dengan cara menyanyikan lagu-lagu pujian secara bergantian sampai pagi (akhanda bhajan). Arti lain juga diberikan orang kepada Siwaratri sebagai malam penebusan dosa dengan cara melek semalam suntuk.
Dalam mantram Satyam Siwam Sundaran, Siwa digambarkan sebagai Kebenaran, Keheningan dan Keindahan. Siwa juga dipersonifikasikan sebagai yang tidak pernah berkata ’tidak’ bagi setiap pemohon yang bersungguh-sungguh, seperti dalam cerita Bhasmasutra. Dalam konsep Trisakti Siwa disebut ’yang melenyapkan’.
Ratri artinya malam. Ini berkaitan dengan pandangan mata. Dalam bahasa rohani artinya ’gelap ketidaktahuan’ (awidya). Tilem kepitu (peteng pitu) adalah tujuh kegelapan yang bisa menyebabkan orang mabuk/lupa daratan, karena ketampanan/kemolekan, karena harta benda, merasa mampu, merasa keturunan tinggi; karena mabuk tidak memanfaatkan masa muda untuk kegiatan-kegiatan produktif, terlibat pada minuman keras dan mabuk kemenangan.
Ketujuh mentalitas ekstrem tersebut timbul dari kecenderngan sifat egois yang tidak terkendalikan, rajas dan tamas ditambah ahamkara, sifat pembawaan sejak lahir yang harus dan perlu dimiliki tiap orang untuk mendorong timbulnya aktivitas. Kalau tidak demikian manusia akan pasif dan tidak berguna. Tetapi jika itu tidak di rem, diredam terus menerus sejak dini sampai ke tingkat kewajaran, secara internal akan merusak diri sendiri, dan secara eksternal akan merusak prinsip hidup bersama (bermasyarakat).
Jika ketujuh kegelapan (mentalitas ekstrem) itu berkumpul menjadi satu dengan rajas, tamas dan ahamkara di dalam diri seseorang, akan menjadi ragadhi (rajanya ego). Istilah ini diberikan oleh Rsi Walmiki (Ramayana), yang maknanya musuh terdekat manusia yang bermukim di hati. Di dalam ragadhi, berakumulasi banyak sekali nafsu buruk yang memproduksi berbagai perilaku buruk. Semua ini bermula dari ratri yang memanifestasikan dirinya dalam ’gelap ketidaktahuan’ itu, membuat orang menjadi dungu, bodoh (awidya), lupa terhadap kemanusiawian milik sejatinya, yang membedakan dirinya dengan hewan bodoh. Tentu saja karena itu lupa terhadap Tuhan. Maka itu Tanakung, pujangga sastra religius yang bijak itu berseru : Siwalah Ratri itu! Artinya lenyapkanlah gelap ketidaktahuan itu sampai tuntas. Mpu Tanakung juga tidak kepalang tanggung menyamakan ratri sebagai binatang-binatang sangat berbahaya di dalam hutan, yang harus dibunuh semuanya. Inilah sebagian dari makna Siwaratri.
Aktor Imajener
Skenario dari drama misteri spiritual ini memiliki banyak makna. Namun di dalam yang banyak itu, arti ’malam penebusan dosa’ sudah umum dikatakan orang. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah Siwaratri merupakan malam penebusan dosa? Jawaban atas pertanyaan ini harus berpijak pada keyakinan dasar Hindu, yaitu hukum Karma. Kesalahan yang dilakukan oleh perbuatan nyata harus ditebus dengan perbuatan nyata. Penebusan ’dosa’ dengan tindakan ritual, seperti begadang semalam suntuk, puasa untuk waktu tertentu atau mengucapkan kalimat-kalimat pengakuan tertentu, dipandang dari substansi hukum karma, hanya berfungsi sebagai catharsis (bahasa yunani = penyucian atau pembebasan emosi melalui seni, terutama yang bersifat tragedi). Ritual seperti ini bilamana diartikan secara harfiah bisa menjadi obat penenang yang sangat berbahaya : orang boleh melakukan apa saja demi kepentingan pribadi (misalnya menyalah gunakan kekuasaan), karena dengan melakukan ritual dengan saleh dan taat, pada waktu-waktu tertentu, dosa atau kesalahan itu sudah hapus. Keyakinan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan bagi usaha pembentukan ethos kerja, karena membuat manusia meremehkan tanggung jawab. Ritual-ritual seperti itu pada dasarnya hanyalah satu sarana-sarana yang penting untuk pembentukan pribadi melalui olah rohani. Dan ia akan bermanfaat bilamana ini kemudian terefleksi dalam perbuatan nyata.
Kalau kita memperlakukan Siwaratri semacam biografi atau otobiografi dari Lubdaka, artinya sebagai apa yang terbaca seperti terkesan selama ini. Orang tidak akan memperoleh menfaat apapun dari karya agung yang dikemas beragam simbolisme nan bermakna tinggi ini. Menguak simbul-simbul ini maka sedikitpun tidak ragu bahwa Lubdaka (Sansekerta) yang berarti ’pemburu’ adalah aktor imajener yang diejawantah pengarang sebagai seorang pemburu bernama Lubdaka yang kejam, membunuh semua binatang yang dalam kata Sansekerta disebut sattwa. Dalam konteks Siwaratri, ini harus diartikan sifat-sifat ’kebinatangan’. Ketika sifat-sifat ini dibinasakan oleh Lubdaka dalam dirinya, dia pun dalam dirinya mendapat sattwa, aspek utama triguna yang mengatasi Rajas (sifat egoistis) dan Tamas (sifat dungu). Pada waktu yang sama, kecenderungan-kecenderungan jahat dan gagasan-gagasan buruk dalam pikiran Lubdaka tidak berkutik di depan sattwa (sifat luhur), dan ahamkara mental serakah pun hilang. Hati nuraninya pun berfungsi. Jadilah Lubdaka manusia yang senantiasa mendengar suara keheningan dalam pikiran.
Inilah yang dicapai Lubdaka selama dalam pesiarahan spiritualnya yang panjang dan bersungguh-sungguh. Pada tahap ini, bagi Lubdaka sudah tidak berlaku lagi cap bahwa manusia adalah binatang yang berfikir karena dia sudah menjadi manusia utuh. Dengan demikian dia telah meningkat dari manusia (manava) menuju ke tingkat manusia yang memancarkan perilaku kedewataan, yang arif bijaksana, lemah lembut, ramah dan manis tutur katanya (madhava).
Perang Tanding
Lubdaka adalah pangecualian yang sangat langka. Dia tidak puas bertahan di tingkat manusia saja. Dia ingin menanjak lebih tinggi lagi. Dengan alasan ini, perang tanding dengan bangsa binatang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, yang telah berjalan berbulan-bulan dan bahkan mungkin bertahun-tahun, diteruskannya lagi. Dengan senjata pemungkas yang andal prema tatwa, prinsip kasih sejati yang mantap pupuslah ragadhi, musuh paling berbahaya dalam dirinya. Anak manusia yang lugu ini menang mutlak. Kali ini dia mendapat jnana yang mengantarkannya kepada prajna, yaitu kesadaran diri sejati atau disebut juga kesadaran atma.
Kesadaran atma diperoleh melalui pengendalian batin teramat dahsyat, terus menerus dan lama. Bukan batin yang dikendalikan, namun batin yang mengendalikan gagasan-gagasan atau maksud-maksud jahat, dalam benak manusia. Gagasan-gagasan macam ini bermula dari indria yang memantulkan indahnya kemewahan duniawi, yang diterima pikiran lalu menyampaikan kepada ahamkara/ego. Kemudian ahamkara memerintahkan kepada sang tangan untuk berbuat, sering dengan cara tidak peduli.
Kini misteri spiritual bagi Lubdaka sudah terbuka, karena dia berhasil melenyapkan gelap ketidaktahuan, penyebab kebodohan atau awidya; daya yang menyelubungi atau awarana sakti dari maya (Wedanta).
Maha Samadi
Suatu hari di tengah malam gelap gulita, Lubdaka disebutkan ’naik’ ke puncak pohon bila, dan memetik-metik daun pohon bila, tidak tidur sekejappun. Orang yang tidak tidur berarti sadar, disebut tan aturu, tan mereme, atangi atau atutur. Secara spiritual orang yang dikatakan turu dan lupa menurut ajaran Siwa adalah orang yang dibelenggu dan yang hanya menuruti nafsu (raga) atau indriyanya. Lubdaka telah dapat mengendalikan dirinya atau aturu menjadi atangi yaitu menemukan kesadaran akan Sang Diri dengan melek semalam suntuk, sehingga akhirnya dia mendapatkan anugrah dari Dewa Siwa.
Jelas pohon ini adalah bikinan yang dipajang Tanakung sebagai dekorasi di atas panggung pentas drama ini. Tetapi bukan tidak bermakna. Lubdaka tidak naik ke puncak pohon manapun. Dia berada di kamar yang suci di depan sebuah tempat pemujaan (altar), atau di suatu tempat tertentu yang dia pilih, dalam sikap meditasi sempurna (maha samadhi). Yang naik bukan Lubdaka, tetapi kesadaran spiritualnya.
Daun bila 108 dapat dijabarkan sebagai berikut : 1(satu) menyatakan tunggal (esa), 8 simbul maya (alam semesta) yang relatif. Ketika semua daun (108) ini dipetik satu demi satu dan dijatuhkan tanpa sengaja oleh Lubdaka, tepat mengenai serta berkumpul di punggung Siwa. Artinya, dalam sadana rohani yang tengah memuncak seperti ini, Lubdaka tidak memiliki motivasi apa pun, dia ada dalam situasi niskama karma, pasrah total (saranagati). Kemudian yang terjadi adalah 108 menjadi 9 menyatakan Brahman/Siwa, simbul sangat suci dalam kesadaran mitologi Hindu. Pada tingkat ini semesta alam pun lenyap karena dia hanyalah ciptaan maya. Yang tinggal hanya yang Esa, yang satu dan yang satu dapat menjadi yang terbanyak; totalitas yang tak terbatas (anatman).
Kesadaran tingkat transendental inilah yang diburu sang pemburu – Lubdaka, dan dia berhasil ’naik’ ke puncak kesadaran tertinggi (Paramarthika). Dengan demikian yang bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakikat yang mulia. Saat inilah dia dikatakan ’melek semalam suntuk’. Pada awalnya Lubdaka identik dengan binatang yang berfikir. Lalu meningkat menjadi manusia manusiawi yang intim dengan hati nuraninya setelah mendapatkan sattwa (sifat luhur). Kemudian dia mengenal sang Aku (jiwa) penghuni bandannya, yang tak berbeda dengan Brahman, seperti dijelaskan Sri Wyasa sebagai jiwo Brahmaiwa na aparah (Wedanta) susudah Lubdaka memperoleh jnana (pengetahuan sejati).
Kalau dilihat dari sudut tattwa Darsana agama Hindu, khususnya ajaran Samkya dan Yoga, dijelaskan bahwa hidup atau terjadinya kehidupan adalah karena adanya pertemuan antara Purusa dengan Pradana/Prakerti. Purusa adalah jiwa kesadaran yang merupakan sumber dharma, sedangkan Pradana/prakerti adalah unsur kebendaan yang diliputi oleh kegelapan. Akibat dari pertemuan Purusa dengan Pradana/prakerti adalah terjadinya pertarungan dharma dengan adharma dalam diri manusia. Pengejawantahan dari pertemuan Purusa dengan Pradana/Prakerti menyebabkan dalam manusia ada dua kecendrungan, yaitu kecenderngan menuju Sang Pencipta disebut Suri Sampad, dan kecendrungan untuk keraksasaan disebut Asuri Sampad. Tujuan daripada hidup ini adalah memperoleh kesempatan berkarma yang baik untuk menebus karma yang tidak baik di masa kehidupan dahulu.
Siwaratri Sebagai Hari Raya
Siwaratri adalah hari raya yang disucikan oleh umat Hindu karena mempunyai nilai spiritual yang sangat tinggi. Siwaratri berasal dari dua suku kata yaitu : Siwa dan ratri. Dalam hal kata ini, kata Siwa adalah gelar kehormatan bagi manifestasi Ida Hyang Widhi yang disebut Siwa, mempunyai fungsi sebagai pe”mrelina”/pelebur, segala yang patut dilebur untuk mencapai kesucian diri yang dapat mengantarkan ke alam bahagia. Ratri, artinya malam, malam yang berarti gelap/kegelapan. Dengan demikian, Siwaratri berarti malam untuk melebur segala papa/dosa setiap umat yang sujud bakti memuja-Nya.
Maha Siwaratri adalah malam pemujaan Siwa sebagai sumber dari segala yang ada. Dilaksanakan sebagai suatu disiplin dan perayaan. Sebagai sebuah disiplin kita berjaga sepanjang malam – melaksanakan japa, meditasi dan sembahyang. Sepanjang malam kita memujaNya, mempersembahkan hati dan jiwa kita kepadaNya. Dengan demikian Siwaratri dimaksudkan memberikan motivasi pada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dengan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu beriktiar untuk memperbanyak perbuatan dharma.
Pada hari ini kita melakukan puasa dan yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan dari Hyang Widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidya (kegelapan).
Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwarâtri terdiri dari:
1. Utama, melaksanakan:
1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
1. Upawasa.
2. Jagra.
3. Nista, hanya melaksanakan Jagra.
Bertitik tolak dari sini, Siwaratri hendaknya dipahami sebagai malam pemupukan tekad dan permohonan kepada Tuhan agar kita diberikan kemampuan yang baik dalam menghapus dosa-dosa atau penderitaan masyarakat seperti kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, diceritakan seorang pemburu bernama Lubdaka. Pada suatu hari tepatnya pada hari panglong 14 kapitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ke tujuh), pagi-pagi seperti biasa ia meninggalkan rumahnya untuk berburu ke hutan. Setelah tiba di hutan, ia mulai menyiapkan busur dan anak panahnya menantikan sasaran buruannya, tetapi tidak seekor binatangpun yang muncul; hal ini sebelumnya tidak pernah terjadi. Jam berganti jam, hingga mendekati malam ia masih berputar-putar, namun tidak satupun binatang buruan yang dapat ditemuinya. Malam semakin larut lebih-lebih kelebatan hutan semakin menambah kegelapan suasana. Keadaan hutan semakin gelap sehingga ia mulai merasakan takut kalau berjalan di tengah kegelapan seperi itu, dan akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di atas pohon. Takut akan tertidur, lalu jatuh dan menjadi mangsa binatang hutan, ia tetap berjaga-jaga semalaman itu. Agar tidak tidur, ia pun memetik daun-daun pohon maja/bila dan menjatuhkannya ke air danau. Daun-daun itu jatuh di atas sebuah lingga Siwa (nora ginawe), dan dengan tidak diketahui daun-daun maja itu jatuh ditempat itu. Ketika matahari mulai muncul di ufuk timur yang menandai malam telah berganti pagi, turunlah ia dari pohon dan kembali pulang dengan tangan hampa.
Hari demi hari berlalu, kehidupan berlangsung seperti biasanya, tetapi beberapa tahun kemudian Lubdaka jatuh sakit, dan tak lama kemudian ia pun meninggal. Jenasahnya segera dibuatkan upacara sebagai mana layaknya (ngaben), sedangkan atmanya (rohnya) melayang-layang diangkasa tidak mengetahui jalan yang mesti ditempuh. Siwa mengetahui keadaannya itu dan mengetahui pula bahwa jiwa si pemburu (Lubdaka) itu ditakdirkan untuk dibawa kewilayah Yama – penguasa kerajaan maut.
Yama memerintahkan kepada abdinya untuk menangkap jiwa Lubdaka untuk dihadapkan kepadanya dan sekaligus akan disiksa atas semua kejahatan yang ia lakukan selama di dunia. Para Kingkara tidak mengenal belas kasihan, mereka menyiksa jiwa Lubdaka. Kemudian Siwa memanggil abdinya – Gana dan sekaligus memerintahkan untuk menghadapkan jiwa Lubdaka kepadanya. Sedangkan abdi lainnya seperti Kingkara menentang keputusan Siwa, dan terheran-heran mengapa orang yang seumur hidupnya seperti Lubdaka – pembunuh makhluk-makhluk hidup dilimpahi anugerah oleh Siwa.
Tiba-tiba para Gana muncul dan menuntut agar Lubdaka dibebaskan. Terjadilah pertempuran sengit antara Kingkara dengan para Gana dan pertempuran itu dimenangkan oleh Gana – abdi Siwa. Kemudian jiwa Lubdaka dibawa dengan kereta surgawi dan menghadapkannya kepada Siwa dan Dewa lainnya. Para Dewa menyembutnya dengan ramah, memuji karena telah menghormati malam Siwa (dengan melek/tidak tidur semalam suntuk); dan sekaligus ia mendapatkan anugrah tertinggi kenikmatan surgawi.
Ketika Yama melihat anak buahnya – Kingkara dalam keadaan menyedihkan dan mendengar bagaimana mereka gagal dalam melaksanakan tugasnya, maka rasa marah Yama meluap. Siwa dianggap menghalangi Yama dalam melaksanakan tugas yang telah dipercayakan kepadanya sehingga Yama ingin mengundurkan diri.
Yama kemudian pergi ke gunung Kailasa menghadap Dewa Siwa sebagai Sang Mahadewa guna menyampaikan pengunduran dirinya. Siwa selanjutnya memperlihatkan, bahwa ia dapat mengerti perasaan Yama dan menjelaskan kebijakannya yang dianggap mengherankan itu. Pada zaman purba Ia pernah mengajarkan bagaimana malam Siwa harus dihormati; upacara itu demikian suci sehingga dapat membersihkan segala noda dan dosa. Tetapi tidak seorangpun lagi pernah melakukan upacara itu, termasuk Dewa sendiri juga melupakannya. Lubdakalah yang pertama-tama melakukannya kendatipun tanpa disadarinya, dan sewajarnya kini ia mendapat pahalanya. Akhirnya Yama dan para Dewa lainnya menjadi mengerti setelah mendapatkan penjelasan Siwa, dan sekaligus memohon maaf kepadanya, setelah itu Yama dan para Dewa pulang.
Makna Filosofis Hari Raya Siwaratri
Kalau disimak cerita itu, ada seorang pemburu namanya Lubdaka yang sehari-hari kerjanya memburu binatang. Kata Lubdaka dalam bahasa sansekerta berarti pemburu. Yang diburu adalah binatang. Nama lain dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal dari kata sat yang berarti ’inti yang mulia’ atau ’hakikat’. Kata twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti ”bersifat inti atau hakikat”. Dengan demikian yang bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari ’inti hakikat yang mulia’.
Secara harfiah Siwaratri berarti malam Siwa. Saat ini umat Hindu (tidak semuanya), di hari ke 14 sebelum bulan mati (catur dasi kresna paksa), bukan pada tilem kepitu, mengadakan kebaktian memuja dan memuji kebesaran Tuhan/Siwa. Ada dengan cara membaca kitab-kitab suci di Pura-Pura, rumah-rumah dan tempat-tempat tertentu, individual (menyendiri) atau kerkelompok, ada yang menggelar Akanda bhajan bersama di Mandir-Mandir, dengan cara menyanyikan lagu-lagu pujian secara bergantian sampai pagi (akhanda bhajan). Arti lain juga diberikan orang kepada Siwaratri sebagai malam penebusan dosa dengan cara melek semalam suntuk.
Dalam mantram Satyam Siwam Sundaran, Siwa digambarkan sebagai Kebenaran, Keheningan dan Keindahan. Siwa juga dipersonifikasikan sebagai yang tidak pernah berkata ’tidak’ bagi setiap pemohon yang bersungguh-sungguh, seperti dalam cerita Bhasmasutra. Dalam konsep Trisakti Siwa disebut ’yang melenyapkan’.
Ratri artinya malam. Ini berkaitan dengan pandangan mata. Dalam bahasa rohani artinya ’gelap ketidaktahuan’ (awidya). Tilem kepitu (peteng pitu) adalah tujuh kegelapan yang bisa menyebabkan orang mabuk/lupa daratan, karena ketampanan/kemolekan, karena harta benda, merasa mampu, merasa keturunan tinggi; karena mabuk tidak memanfaatkan masa muda untuk kegiatan-kegiatan produktif, terlibat pada minuman keras dan mabuk kemenangan.
Ketujuh mentalitas ekstrem tersebut timbul dari kecenderngan sifat egois yang tidak terkendalikan, rajas dan tamas ditambah ahamkara, sifat pembawaan sejak lahir yang harus dan perlu dimiliki tiap orang untuk mendorong timbulnya aktivitas. Kalau tidak demikian manusia akan pasif dan tidak berguna. Tetapi jika itu tidak di rem, diredam terus menerus sejak dini sampai ke tingkat kewajaran, secara internal akan merusak diri sendiri, dan secara eksternal akan merusak prinsip hidup bersama (bermasyarakat).
Jika ketujuh kegelapan (mentalitas ekstrem) itu berkumpul menjadi satu dengan rajas, tamas dan ahamkara di dalam diri seseorang, akan menjadi ragadhi (rajanya ego). Istilah ini diberikan oleh Rsi Walmiki (Ramayana), yang maknanya musuh terdekat manusia yang bermukim di hati. Di dalam ragadhi, berakumulasi banyak sekali nafsu buruk yang memproduksi berbagai perilaku buruk. Semua ini bermula dari ratri yang memanifestasikan dirinya dalam ’gelap ketidaktahuan’ itu, membuat orang menjadi dungu, bodoh (awidya), lupa terhadap kemanusiawian milik sejatinya, yang membedakan dirinya dengan hewan bodoh. Tentu saja karena itu lupa terhadap Tuhan. Maka itu Tanakung, pujangga sastra religius yang bijak itu berseru : Siwalah Ratri itu! Artinya lenyapkanlah gelap ketidaktahuan itu sampai tuntas. Mpu Tanakung juga tidak kepalang tanggung menyamakan ratri sebagai binatang-binatang sangat berbahaya di dalam hutan, yang harus dibunuh semuanya. Inilah sebagian dari makna Siwaratri.
Aktor Imajener
Skenario dari drama misteri spiritual ini memiliki banyak makna. Namun di dalam yang banyak itu, arti ’malam penebusan dosa’ sudah umum dikatakan orang. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah Siwaratri merupakan malam penebusan dosa? Jawaban atas pertanyaan ini harus berpijak pada keyakinan dasar Hindu, yaitu hukum Karma. Kesalahan yang dilakukan oleh perbuatan nyata harus ditebus dengan perbuatan nyata. Penebusan ’dosa’ dengan tindakan ritual, seperti begadang semalam suntuk, puasa untuk waktu tertentu atau mengucapkan kalimat-kalimat pengakuan tertentu, dipandang dari substansi hukum karma, hanya berfungsi sebagai catharsis (bahasa yunani = penyucian atau pembebasan emosi melalui seni, terutama yang bersifat tragedi). Ritual seperti ini bilamana diartikan secara harfiah bisa menjadi obat penenang yang sangat berbahaya : orang boleh melakukan apa saja demi kepentingan pribadi (misalnya menyalah gunakan kekuasaan), karena dengan melakukan ritual dengan saleh dan taat, pada waktu-waktu tertentu, dosa atau kesalahan itu sudah hapus. Keyakinan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan bagi usaha pembentukan ethos kerja, karena membuat manusia meremehkan tanggung jawab. Ritual-ritual seperti itu pada dasarnya hanyalah satu sarana-sarana yang penting untuk pembentukan pribadi melalui olah rohani. Dan ia akan bermanfaat bilamana ini kemudian terefleksi dalam perbuatan nyata.
Kalau kita memperlakukan Siwaratri semacam biografi atau otobiografi dari Lubdaka, artinya sebagai apa yang terbaca seperti terkesan selama ini. Orang tidak akan memperoleh menfaat apapun dari karya agung yang dikemas beragam simbolisme nan bermakna tinggi ini. Menguak simbul-simbul ini maka sedikitpun tidak ragu bahwa Lubdaka (Sansekerta) yang berarti ’pemburu’ adalah aktor imajener yang diejawantah pengarang sebagai seorang pemburu bernama Lubdaka yang kejam, membunuh semua binatang yang dalam kata Sansekerta disebut sattwa. Dalam konteks Siwaratri, ini harus diartikan sifat-sifat ’kebinatangan’. Ketika sifat-sifat ini dibinasakan oleh Lubdaka dalam dirinya, dia pun dalam dirinya mendapat sattwa, aspek utama triguna yang mengatasi Rajas (sifat egoistis) dan Tamas (sifat dungu). Pada waktu yang sama, kecenderungan-kecenderungan jahat dan gagasan-gagasan buruk dalam pikiran Lubdaka tidak berkutik di depan sattwa (sifat luhur), dan ahamkara mental serakah pun hilang. Hati nuraninya pun berfungsi. Jadilah Lubdaka manusia yang senantiasa mendengar suara keheningan dalam pikiran.
Inilah yang dicapai Lubdaka selama dalam pesiarahan spiritualnya yang panjang dan bersungguh-sungguh. Pada tahap ini, bagi Lubdaka sudah tidak berlaku lagi cap bahwa manusia adalah binatang yang berfikir karena dia sudah menjadi manusia utuh. Dengan demikian dia telah meningkat dari manusia (manava) menuju ke tingkat manusia yang memancarkan perilaku kedewataan, yang arif bijaksana, lemah lembut, ramah dan manis tutur katanya (madhava).
Perang Tanding
Lubdaka adalah pangecualian yang sangat langka. Dia tidak puas bertahan di tingkat manusia saja. Dia ingin menanjak lebih tinggi lagi. Dengan alasan ini, perang tanding dengan bangsa binatang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, yang telah berjalan berbulan-bulan dan bahkan mungkin bertahun-tahun, diteruskannya lagi. Dengan senjata pemungkas yang andal prema tatwa, prinsip kasih sejati yang mantap pupuslah ragadhi, musuh paling berbahaya dalam dirinya. Anak manusia yang lugu ini menang mutlak. Kali ini dia mendapat jnana yang mengantarkannya kepada prajna, yaitu kesadaran diri sejati atau disebut juga kesadaran atma.
Kesadaran atma diperoleh melalui pengendalian batin teramat dahsyat, terus menerus dan lama. Bukan batin yang dikendalikan, namun batin yang mengendalikan gagasan-gagasan atau maksud-maksud jahat, dalam benak manusia. Gagasan-gagasan macam ini bermula dari indria yang memantulkan indahnya kemewahan duniawi, yang diterima pikiran lalu menyampaikan kepada ahamkara/ego. Kemudian ahamkara memerintahkan kepada sang tangan untuk berbuat, sering dengan cara tidak peduli.
Kini misteri spiritual bagi Lubdaka sudah terbuka, karena dia berhasil melenyapkan gelap ketidaktahuan, penyebab kebodohan atau awidya; daya yang menyelubungi atau awarana sakti dari maya (Wedanta).
Maha Samadi
Suatu hari di tengah malam gelap gulita, Lubdaka disebutkan ’naik’ ke puncak pohon bila, dan memetik-metik daun pohon bila, tidak tidur sekejappun. Orang yang tidak tidur berarti sadar, disebut tan aturu, tan mereme, atangi atau atutur. Secara spiritual orang yang dikatakan turu dan lupa menurut ajaran Siwa adalah orang yang dibelenggu dan yang hanya menuruti nafsu (raga) atau indriyanya. Lubdaka telah dapat mengendalikan dirinya atau aturu menjadi atangi yaitu menemukan kesadaran akan Sang Diri dengan melek semalam suntuk, sehingga akhirnya dia mendapatkan anugrah dari Dewa Siwa.
Jelas pohon ini adalah bikinan yang dipajang Tanakung sebagai dekorasi di atas panggung pentas drama ini. Tetapi bukan tidak bermakna. Lubdaka tidak naik ke puncak pohon manapun. Dia berada di kamar yang suci di depan sebuah tempat pemujaan (altar), atau di suatu tempat tertentu yang dia pilih, dalam sikap meditasi sempurna (maha samadhi). Yang naik bukan Lubdaka, tetapi kesadaran spiritualnya.
Daun bila 108 dapat dijabarkan sebagai berikut : 1(satu) menyatakan tunggal (esa), 8 simbul maya (alam semesta) yang relatif. Ketika semua daun (108) ini dipetik satu demi satu dan dijatuhkan tanpa sengaja oleh Lubdaka, tepat mengenai serta berkumpul di punggung Siwa. Artinya, dalam sadana rohani yang tengah memuncak seperti ini, Lubdaka tidak memiliki motivasi apa pun, dia ada dalam situasi niskama karma, pasrah total (saranagati). Kemudian yang terjadi adalah 108 menjadi 9 menyatakan Brahman/Siwa, simbul sangat suci dalam kesadaran mitologi Hindu. Pada tingkat ini semesta alam pun lenyap karena dia hanyalah ciptaan maya. Yang tinggal hanya yang Esa, yang satu dan yang satu dapat menjadi yang terbanyak; totalitas yang tak terbatas (anatman).
Kesadaran tingkat transendental inilah yang diburu sang pemburu – Lubdaka, dan dia berhasil ’naik’ ke puncak kesadaran tertinggi (Paramarthika). Dengan demikian yang bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakikat yang mulia. Saat inilah dia dikatakan ’melek semalam suntuk’. Pada awalnya Lubdaka identik dengan binatang yang berfikir. Lalu meningkat menjadi manusia manusiawi yang intim dengan hati nuraninya setelah mendapatkan sattwa (sifat luhur). Kemudian dia mengenal sang Aku (jiwa) penghuni bandannya, yang tak berbeda dengan Brahman, seperti dijelaskan Sri Wyasa sebagai jiwo Brahmaiwa na aparah (Wedanta) susudah Lubdaka memperoleh jnana (pengetahuan sejati).
Kalau dilihat dari sudut tattwa Darsana agama Hindu, khususnya ajaran Samkya dan Yoga, dijelaskan bahwa hidup atau terjadinya kehidupan adalah karena adanya pertemuan antara Purusa dengan Pradana/Prakerti. Purusa adalah jiwa kesadaran yang merupakan sumber dharma, sedangkan Pradana/prakerti adalah unsur kebendaan yang diliputi oleh kegelapan. Akibat dari pertemuan Purusa dengan Pradana/prakerti adalah terjadinya pertarungan dharma dengan adharma dalam diri manusia. Pengejawantahan dari pertemuan Purusa dengan Pradana/Prakerti menyebabkan dalam manusia ada dua kecendrungan, yaitu kecenderngan menuju Sang Pencipta disebut Suri Sampad, dan kecendrungan untuk keraksasaan disebut Asuri Sampad. Tujuan daripada hidup ini adalah memperoleh kesempatan berkarma yang baik untuk menebus karma yang tidak baik di masa kehidupan dahulu.
Siwaratri Sebagai Hari Raya
Siwaratri adalah hari raya yang disucikan oleh umat Hindu karena mempunyai nilai spiritual yang sangat tinggi. Siwaratri berasal dari dua suku kata yaitu : Siwa dan ratri. Dalam hal kata ini, kata Siwa adalah gelar kehormatan bagi manifestasi Ida Hyang Widhi yang disebut Siwa, mempunyai fungsi sebagai pe”mrelina”/pelebur, segala yang patut dilebur untuk mencapai kesucian diri yang dapat mengantarkan ke alam bahagia. Ratri, artinya malam, malam yang berarti gelap/kegelapan. Dengan demikian, Siwaratri berarti malam untuk melebur segala papa/dosa setiap umat yang sujud bakti memuja-Nya.
Maha Siwaratri adalah malam pemujaan Siwa sebagai sumber dari segala yang ada. Dilaksanakan sebagai suatu disiplin dan perayaan. Sebagai sebuah disiplin kita berjaga sepanjang malam – melaksanakan japa, meditasi dan sembahyang. Sepanjang malam kita memujaNya, mempersembahkan hati dan jiwa kita kepadaNya. Dengan demikian Siwaratri dimaksudkan memberikan motivasi pada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dengan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu beriktiar untuk memperbanyak perbuatan dharma.
Pada hari ini kita melakukan puasa dan yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan dari Hyang Widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidya (kegelapan).
Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwarâtri terdiri dari:
1. Utama, melaksanakan:
1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
1. Upawasa.
2. Jagra.
3. Nista, hanya melaksanakan Jagra.
Bertitik tolak dari sini, Siwaratri hendaknya dipahami sebagai malam pemupukan tekad dan permohonan kepada Tuhan agar kita diberikan kemampuan yang baik dalam menghapus dosa-dosa atau penderitaan masyarakat seperti kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
sairam
BalasHapus