oleh Ketut Darmita pada 21 Desember 2010 jam 23:18
Apapun perubahan yang terjadi pada tubuh, individualitasnya tidak berubah.
Perubahan nama dan bentuk, seperti misalnya anak-anak, remaja, dewasa dan tua berkaitan dengan tubuh dan karenanya hanya khayal.
Oleh sebab itu, janganlah menganggap tubuh sebagai hal yang nyata dan tetap.
Meskipun demikian manusia wajib mengusahakan agar tubuhnya tidak terserang penyakit dan terpelihara sebagai alat yang sehat.
Selama berlayar dalam lautan kehidupan ini, manusia harus menjaga agar perahu tubuhnya tidak berlobang atau bocor, dengan demikian air tidak masuk kedalam perahu.
Perahu boleh berada di air, tetapi tidak boleh ada air dalam perahu.
Perahu merupakan alat untuk menyeberangi lautan kehidupan.
Di dalam kitab suci Veda dinyatakan bahwa tubuh manusia adalah Pura atau Bangunan Suci, sedang jiwa (Sang Diri) adalah Tuhan Yang Maha Esa yang berstana pada tubuh manusia.
Dalam Kitab Maitreyi Upanisad II.1,
sebagaimana dikutip oleh Titib ( 2006 : 11) disebutkan sebagai berikut :
”Badan adalah pura, altar,
tempat suci yang diresapi dan jiwa (atma) adalah Sang Hyang Siva,
Tuhan Yang Maha Esa”.
Baba mengatakan, ingatlah selalu hal ini,
“Aku bukan sekedar manusia,
Aku adalah perwujudan Tuhan,
Miliki keyakinan yang teguh akan hal ini,
maka engkau akan menyadari kebenaran tersebut”
Sebagaimana dikatakan,
Brahmavid Brahmaiva Bhavati,
artinya :
“Yang mengetahui Brahman (Tuhan) sesungguhnya menjadi Brahman”
Kesadaran bahwa manusia adalah Atman yang merupakan perwujudan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa yang menjelma dengan memasuki badan sebagai stana suci-Nya (pura)-Nya, maka seseorang akan senantiasa melaksanakan Asucilaksana, yakni menyucikan diri lahir dan batin senantiasa berpegang teguh kepada nilai-nilai moralitas. Dengan demikian akan mengantarkan manusia (manava) menuju ke tingkat manusia yang memancarkan perilaku kedewataan, yang arif bijaksana, lemah lembut, ramah dan manis tutur katanya (madhava). Tidak sebaliknya jatuh dibelenggu oleh sifat-sifat keraksasaan (danava).
Kesempatan menjelma sebagai manusia sangat sulit diperoleh, ini memerlukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali reinkarnasi, sehingga kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan dengan baik dengan merealisasikan ajaran dharma (dharmasadhana) seperti yang disebutkan dalam Sarasamuccaya sloka 4 dan 14, sebagai berikut :
”Apang iking dadi wwang,
uttama juga ya,
nimittaning mangkana,
wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara,
makasadhanang cubhakarma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika” (Sarasamuccaya, 4).
Terjemahan :
Mejelma menjadi manusia itu adalah sungguh utama; karena dapat menolong dirinya dari keadaan samsara (menjelma berulang kali), dengan jalan berbuat baik, demikian keuntungan menjelma sebagai manusia (Kajeng, 2001 : 6).
“Ikang dharma ngaranya,
hanuning mara ring swarga ika,
kadi gatening perahu,
an henuning banyage nentasing tasik”
(Sarasamuccaya, 14).
Terjemahan :
Yang disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang mengarungi lautan (Kajeng, 2001 : 11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar